Akhir.

15 8 0
                                    

Tinggal menghitung hari, kepergianku ke Finlandia akan segera tiba. Perasaan resah dan bingung begitu berkecamuk bagai badai yang terus berputar tanpa memiliki poros untuk berhenti.
Sejenak, aku menatap langit yang terhampar indah di atas sana.
Begitu biru, begitu indah. Seolah tak pernah memunculkan apa-apa, seperti diantaranya keabuan.
Ia tetap membentang bersih layaknya sesuatu yang telah berhasil diselesaikan. Padahal, tak jarang sekali ia memunculkan warna paling gelam, sebuah kegelapan yang mengerikan untuk ditatap.
Lantas, bagaimana bisa ia tetap hadir cerah walau pun ketidakjelasan pernah menyertainya?
Terkadang, aku ingin menjadi langit. Yang dicintai banyak manusia, yang banyak diharapkan, dan banyak dido'akan untuk tetap baik-baik saja.
Tetapi, aku malah tercipta menjadi manusia. Yang mengais banyak tekanan, yang lemah jika dijatuhkan, yang hancur apabila tak ada yang memperdulikan.
Seperti inikah wujud takdir sebenarnya yang banyak dikatakan orang-orang?

Sebelum pergi, aku mendatangi Kajian terlebih dahulu yang diadakan oleh Guru mengajiku. Aku sebenarnya tidak tahu beliau mengadakan Kajian, namun salah satu teman mengajiku dulu mengundangku untuk hadir.
Ya, sudah pasti aku akan menerimanya tanpa banyak alasan. Sebab, ada hal penting juga yang ingin kusampaikan pada beliau.
Yaitu sebuah permintaan do'a dan pamit sebelum kepergianku tiba.

Suasana sudah marak, para jemaah pun sudah mengambil posisi masing-masing. Aku pergi sendiri, karena sahabat-sahabatku yang lain tidak bisa hadir. Sebab, mereka masih dalam waktu bekerja. Dan aku tidak bisa memaksa untuk itu.

Do'a-do'a mulai beterbangan, lantunan ayat suci dalam kitab keyakinan kami pun sudah selesai terlangitkan, di pimpin oleh Guruku tercinta. Dan sesi sekarang adalah menyampaikan ilmu yang beliau ketahui selama masa pembelajaran sebelum beliau sampai dititik ini.
Aku mulai mengambil posisi duduk yang nyaman, agar saat mendengarkan ceramah nanti semuanya terserap.

***

Acara kajian telah selesai, ceramah yang disampaikan oleh Guruku pun sudah rampung. Namun, ada satu ilmu yang beliau sampaikan, yang menjadi cambukan dan pengingat untuk diriku yang sering kali terlampau batas dalam menyikapi kenyataan. Begini isinya;

Hebat itu, ketika kita tidak pernah berharap apa pun kepada siapa pun. Terkecuali, pada Dzat yang menciptakan kita. Tidak ada manusia yang tidak berharap dalam hidup, tetapi selalu saja ada manusia yang malah bergantung pada harap kepada manusia lainnya, bukan Tuhan-Nya yang menciptakan ia.
Manusia berilmu, manusia yang ingat akan Tuhan-Nya, manusia yang selalu berusaha yakin meskipun realita pahit menggempur tidak berhenti ke kehidupannya, In syaa Allah, tidak akan pernah tersasar arah.
Yakin saja, bahwa yang menciptakan semesta ini selalu mempunyai rencana terbaik untuk ciptaan-Nya.
Kalau manusia percaya bahwa Tuhan tidak pernah tidur, ia tidak akan pernah takut terjadi apa-apa di kehidupannya.
Sekali pun, ia kehilangan seseorang yang ia cintai seumur hidupnya.

Kalimat terakhir itu, membuatku merasa dipukul jatuh dan membuatku menunduk lemas atas sikap yang sering kali khilaf.
Banyak mengartikan kesalahan kepada kenyataan yang memang menjadi takdir perjalanan hidupku. Ya, sekarang aku mengerti, manusia memang memiliki garis dalam kehidupan yang sedang dijalaninya. Maka dari itu, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak menggantungkan harap lebih pada siapa pun, terkecuali Tuhanku yang menciptakanku dalam bentuk yang sempurna dan utuh, tanpa memiliki sedikit pun kecacatan.

Setelah acara selesai, aku menghampiri beliau.
Kuraih tangannya dan kucium punggung tangannya, seraya berkata.

"Pak Ustadz, saya mau pamit untuk pergi melanjutkan mimpi saya yang ternyata berposisi di luar negeri. Mohon do'anya agar.. Agar apa pun yang dilakukan olehku berbuah kebaikan."

Ujarku tertegun menunduk.

"Tidak terasa, ya. Muridku yang satu ini sudah bertumbuh dewasa. Selamat menempuh perjalanan baru, Nak. Do'aku menyertai kepergianmu dan setiap langkahmu nanti di sana. Yakinlah satu, ya, kau tidak pernah benar-benar sendiri meskipun nanti kau merasa di sana tidak memiliki siapa pun yang dapat dipercaya, karena akan selalu saja ada yang menanti sujud dan tadahan tangan untuk meminta berkah dan rahmat-Nya, yaitu Tuhanmu yang tidak akan pernah tertidur."

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang