Hujan reda.
Saat kami sudah berkeliling merenggut waktu demi memenuhi keinginan manusia yang sekarang menjadi favorit ku untuk setiap waktu."Pada kemana? Kok sepi?"
Aku bertanya.
"Kalo hari biasa, sih. Memang."
"Soalnya aku memang berdua sama Abang.""Duh, Sa. Ya sudah cepat ganti."
"Jangan sampai Abang kamu mengetahui hal ini.""Kamu kok kayak takut banget?"
"Nggak, bukan takut. Saya cuma tidak ingin suatu hal terjadi jika Abangmu bertingkah laku seperti kemarin."
"Kamu masih terbawa, ya? Soal perkataan Abang kemarin?"
"Nggak, Nggak sama sekali. Saya juga menerima, Sa. Memang itu keadaan sebenarnya, bukan?"
"Tapi, Ray. Wajar saja jika kamu tidak menerima, perlakukan Abang memang kadang diluar logika penerimaan."
"Sudah, lupakan. Saya sekalipun sudah tidak ingin terlibat lagi untuk hal itu. Saya seperti ini karena ingin saling menghargai saja, supaya nanti pasti tenang dalam menjalaninya."
Alyssa tersenyum.
"Oh iya, ngomong-ngomong Ayah dan Ibuk kemana?"
Aku melontarkan lagi pertanyaan.
"Ayah mulai kembali terbang lagi, hari ini. Saat kemarin kamu kesini, itu hari terakhir liburnya."
"Kalau Bunda, jaga Nenek.""Hm begitu, tapi, Ibuk sering pulang saat memang waktunya sudah senggang?"
"Pulang. Tapi, hari Sabtu dan Minggu saja, saat aku libur sekolah."
Setelah mendengar itu, pertanyaan ku hentikan. Sepertinya sudah terlalu cukup dan tidak perlu ada lagi yang dibahas.
"Ya sudah, Saya pulang dulu, ya."
"Ingat, setelah ini kamu langsung mandi pakai air hangat lalu makan, ya?""Iya, orang paling bawel."
Aku mengangguk seraya tersenyum.
Namun saat sedang menyelah motor, tangan kiri yang ku gunakan untuk mengontrol kopling tiba-tiba diambil oleh Alyssa dan digenggam.
Sungguh aku bingung dan salah tingkah."Hati-hati, ya. Ingat apa kata Ayah?"
"Sudah pasti."
Namun entah kenapa tiba-tiba tangan ku yang sedang digenggam olehnya itu ku balas lagi dengan genggaman kembali dan berubah arah menjadi ditambah sedikit kecupan, sial.
Mengapa adrenaline ini benar-benar sulit sekali dikendalikan, mengapa tiba-tiba tangan ini mengayunkan hal yang cukup tidak waras.Responnya hanya tersenyum, lalu setelah itu ku lepaskan dengan pelan.
Dan aku melanjutkan niat tujuan.Entahlah.
Aku sudah terlalu kalap, sebab setiap ingin mendeskripsikan dengan kosakata, ia sudah melahap habis semuanya melalui perbuatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...