Genap setengah tahun aku pergi dari rumah dan memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah indekos demi membuktikan sesuatu yang ku anggap jalan paling benar untuk ditempuh. Sebab, aku tidak diberi celah apresiasi barang sedikit saja oleh siapa pun, bahkan orang terdekat sekali pun yang memiliki hubungan darah yang menyambung kuat secara langsung tidak memberikanku kepercayaan ketika aku menyatakan apa keinginan yang akan ku hadapi dengan terang-terangan tanpa mengambil jalan sembunyi layaknya pengecut yang pergi meninggalkan masalah.
Dan kini, aku dipaksa menerima oleh kenyataan meskipun sebenarnya aku masih belum siap menghadapi itu semua.Saat tengah sibuk melakukan perang sengit bersama dunia, juga jadwal padat yang tidak terkira.
Tiba-tiba aku tercekat sendirian. Semua mendadak hilang, tidak ada siapa-siapa, seketika ruangan yang tengah ku pijak mendadak menyepi, senyap bagai jam dinding yang detaknya berhenti.
Hanya ada suara bergeming antara batin diriku dan ruangan tersebut.
Aku mendapatkan kabar paling buruk yang mungkin akan menjadi suatu peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidup, bahkan sampai nanti deru nafasku berhenti.***
Matahari sedang terik memancar di siang hari untuk menghidupi sesuatu yang sempat dan pernah gelap, juga membayar janjinya yang setiap kali terikrar ketika dia perlahan pergi dan bulan hendak menggantikan posisinya;
Aku pasti datang lagi esok hari, itu janjiku. Tidak peduli apapun yang terjadi, aku pasti kembali untuk menerangi siapa pun.
Tapi, dia berbohong kali ini padaku. Buktinya, dia sama sekali tidak berpihak padaku di hari yang cerah itu. Yang dibayarkan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Aku malah diberi awan paling gelam yang warnanya sangat pekat dengan kegelapan ditengah janji yang katanya setia untuk menerangi siapa pun yang terlampau sepi.Saat tengah bersantai menikmati waktu jam istirahat sembari sesekali menyeruput kopi yang ku beli di warung depan, tiba-tiba muncul wujud para sahabatku di depan mata dengan raut mimik yang gelisah.
Aku tidak mengetahui apa yang sudah terjadi sehingga mereka menampakan wajah paling sebal untuk dilihat, pun alasan apa yang membawa mereka kemari saat aku tengah melakukan kewajibanku."PULANG SEKARANG, PAPA LU MENINGGAL!"
*DEG!*
Ucap salah satu sahabatku, Mirzha.
Menyampaikan suatu hal tanpa mengulur waktu dengan basa-basi. Yang lain hanya terdiam dan mengangguk untuk meyakinkanku pada apa yang sudah Mirzha katakan.Setelah mendengar hal tersebut, seketika, entah dari mana datangnya, tiba-tiba badai besar mengguncang seluruh pusat pikiranku, lalu kilat petir yang bergemuruh datang berkali-kali menyambar pada setiap inti-inti hati, seperti membantu badai itu untuk menghancurkan perasaanku.
Aku terdiam, termenung, semua mendadak kaku dan bisu. Aku masih tidak percaya tentang apa yang telah disampaikan oleh sahabatku.
Seluruh tubuhku dari ujung ubun-ubun hingga ujung kaki ibu jari mendadak dingin, darahku seolah membeku tapi rasa menggigil tidak sampai padaku.
Yang ku rasakan hanyalah lemas tak berdaya, dan otot-ototku mulai melunglai.
Kakiku tiba-tiba kehilangan kekuatan terhadap apa yang sedang ia pijak; Bumi yang terus berputar tapi tidak memiliki kepastian tentang bentuk sebenarnya, berjalan hidup dengan sebuah rumor yang masih menjadi teka-teki yang tak kunjung terselesaikan.Aku terjatuh namun setengah, bagian badanku yang atas masih berdiri tegap karena lututku menahan semuanya.
Untuk memastikan benar atau tidaknya, aku mengambil handphone yang tersimpan di saku celanaku.
Karena sedari tadi, aku tidak memegang handphone sedikit pun.
Aku berusaha bersikap profesional dengan menghargai diri untuk tidak terpaku hal lain selain di bidang yang sudah menjadi kewajibanku ketika sedang bekerja.
Saat dilihat, ternyata layar handphoneku memunculkan ribuan notifikasi yang berisi kabar tentang ini. Berjuta panggilan dan pesan aku hiraukan hanya karena pekerjaan yang tengah ku gerus sekarang.
Rasa bersalah dan menyalahkan diri ku biarkan terlepas dari ikatannya, meskipun sebenarnya perasaan itu sudah ku ikat dengan susah payah. Tetapi, kali ini mereka di pihak yang benar, dan aku yang memang salah. Jadi aku sengaja membiarkan mereka berlari dan terbang sejauh mungkin untuk menyergap diriku yang selalu tidak tahu arah pada mana yang benar atau pun salah.
Dengan kelapangan hati, aku membiarkan mereka menyerang agar aku segera sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...