Salah artian.

13 8 1
                                    

Akhirnya, tiba hari dimana kuliah pertamaku dimulai.
Aku berangkat bersama Naya menggunakan mobil miliknya.
Ah, entahlah. Di sini, aku merasa menjadi beban untuk dia. Karena apapun halnya, aku selalu bergantung padanya. Tetapi jika aku menentang, itu akan lebih salah. Mau tidak mau, aku hanya perlu menerima.

Ada perasaan berdebar dalam jantungku, senang dan haru bercampur aduk. Mimpi yang sempat tersimpan dan penantian akhirnya berbuah manis. Waktu memang tidak akan pernah salah jika sudah berkehendak. Yang diharuskan hanyalah tetap bersabar menunggu masa yang tepat itu datang.

Begitu sampai, aku berjalan sedikit cepat bersama Naya karena waktu kami sudah tenggak.
Kami mengenakan pakaian SMA kembali sesuai yang diperintahkan oleh Kakak tingkat di grup kuliah yang tercantum di salah satu platform digital media sosial.
Seperti nostalgia ketika pertama kali memakai kembali seragam putih abu dan menghadap kaca melihat diri sendiri, rasanya seakan mengulang kejadian yang paling seru di masa itu.
Momen yang mungkin tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Karena disitulah pikiranku mulai terbuka, terlebih banyak mengenal hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah kusentuh.

Orang-orang yang kujumpai begitu ruih, 2 kali lipat dari sekolah menengah akhir. Wara-wiri akan kesibukan masing-masing.
Aku menyelinap memasuki sela-sela kerumunan, sesekali berjinjit untuk mencari sumber yang akan menjadi tujuanku.
Namun, tiba-tiba aku tidak sengaja menabrak satu perempuan ketika tengah terfokus mencari suatu hal.

"Aw."

Seru perempuan yang tidak sengaja kutabrak.

"Eh, kamu gak kenapa-napa?"

Aku berusaha menyanggahnya.
Lalu kami saling berpapasan dan saling menatap.

"Lho, Al?"

Ujar perempuan itu setelah kusanggah.

"Sabila?"

Aku mengerutkan dahi, bertanya balik padanya untuk memastikan apakah ia benar-benar sosok yang kukenal.

"Kamu Al, kan? Pacar Alyssa?"

Tanyanya masih setengah ragu.

"Iya, saya Al."

"Lho, kamu di sini ternyata. Maba, kah?"

"Iya, saya baru masuk tahun ini."

Aku menjawab dingin.

"Ray, Ayo! Kita udah telat!"

Tiba-tiba, tanganku ditarik oleh Naya yang sedari tadi hanya diam menyaksikanku berbicara dengan Sabila.

"Sorry, Bil. Aku buru-buru. Duluan, ya!"

Aku berseru pada Sabila seraya berlalu dari hadapannya.

Sabila Annastasya, begitu katanya.
Nama itu pernah kudengar saat Alyssa menelepon dan mengucapkan ulang tahun padanya. Perempuan yang sebaya umurnya dengan kekasihku.

Saat tiba di lapangan, suara speaker memekik keras pada gendang telinga. Arah suara itu menunjuk kami berdua yang baru saja memasuki arena.

"HEI KAMU! DUA ORANG YANG BARU SAJA MASUK, KE SINI!"

Pekik salah satu Kakak tingkat laki-laki pada kami berdua.
Aku menghela nafas berat, saling menatap bergantian dengan Naya.

*Puihh..*

Agar tidak semakin keruh, aku dan Naya segera menghampiri sumber suara tersebut.

"Habis dari mana kamu?!"

Tanyanya dengan gelagat memiliki kuasa tinggi.

"Nggak dari mana-mana."

Aku menjawab dengan sedingin es sembari menatap matanya.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang