Aku di sini, Sa.

18 16 0
                                    

Pagi telah berganti malam, waktu tumbang begitu cepat. Matahari lenyap ditelan bulan. Setelah aku berbincang empat mata dengan Pamanku, aku menghampiri Mama yang sedang berada di kamar.

*Ciit* Suara pintu berderit.

Begitu ku buka, aku mendapati Mama yang sedang duduk menunduk menekan lutut seraya memeluk sebuah figura yang berisi foto bersama Papa. Aku terpaku sejenak menyaksikan Mama yang begitu kesakitan akhir-akhir ini sesudah Papa pergi.

"Kenapa, Ray?"

Ujarnya seraya mengusik-ngusik bola mata yang telah mengeluarkan airnya itu untuk menutupi semuanya.
Perlahan, aku melangkah untuk mendekati Mama. Beliau menatapku penuh dengan binar kesedihan, sepasang bola mata tidak akan pernah berbohong jika perasaan sudah terkena dampaknya.

"Maaf untuk segala keegoisan, Ray, Ma. Karena Ray, semua jadi begini."

Lirihku pelan, nada ku sendu namun tidak terlalu dalam. Ada perasaan yang ku tahan agar tidak pecah dan berceceran.

"Sssttt! Jangan bilang begitu, Nak."

Telunjuk jarinya diarahkan pada mulutku.

"Semua ini sama sekali bukan salahmu, Ray. Kepergian Papa adalah sebuah takdir nyata yang tidak bisa kita tentang. Setiap manusia yang terlahir akan kembali menghadap ciptaan-Nya. Jadi, jangan pernah terdistrak oleh pikiran burukmu seolah semua hal itu penyebabnya adalah kamu. Terlebih karena soal perginya kamu dari rumah seperti kemarin, sama sekali tidak ada hubungannya."

Ujar Mama seraya mengelus kepalaku. Aku menatapnya, kedua bola mata itu seperti menahan sesuatu untuk keluar.

"Maafin Ray, ya, Ma. Ray gak pernah belajar untuk mengalah. Ray terlalu keras dan panas, sampai-sampai sesuatu yang ingin menyentuh Ray sekali pun tak sanggup menahannya."

Aku meraih Mama untuk memeluknya, air mataku berleleran ketika berhasil meraih sebuah raga yang terlampau kuat setelah menghadapi beribu kenyataan yang menyakitkan.

"Gak usah khawatir tentang Mama, ya. Masih ada Kakak di sini yang bisa jagain Mama dan Riza. Kamu terima saja tawaran Pamanmu itu, ya? Kesempatan tidak akan pernah datang dua kali, jika ada, maka manfaatkanlah. Mama tahu, Ray itu anak baik yang selalu ingin belajar mandiri. Tapi, sebelum itu semua terwujud akan selalu ada proses sebelum hasil, Nak. Tidak akan ada puncak jika tidak ada lembah, tidak akan ada sebuah jalan jika kita tidak berusaha mencarinya."

Lirihnya seraya mengusap-ngusap mataku yang terlanjur basah.
Jawabku hanya tersenyum dan mengangguk.

Tidak ada yang ingin aku tentang, dengan segala kerendahan hati aku menerima apapun yang diucapkan Mama. Aku paham setelah banyak menyaksikan tragedi kehidupan, semua yang keluar dari mulut beliau adalah do'a yang selalu berujung kebaikan. Apapun bentuknya. Terlebih jika hal tersebut sudah resmi ia lepaskan dengan keikhlasan, Tuhan pasti akan selalu setuju untuk itu.

***

Keesokan harinya, saat aku tengah bersiap untuk membereskan beberapa barang yang perlu ku bereskan terlebih dahulu sebelum pergi, handphoneku berdering memunculkan panggilan. Setelah ku lihat, ternyata dari Alyssa.

"Assalammualaikum, Ray."

Terdengar dari seberang memulai pembicaraan.

"Wa'alaikumsalam, Alyssa. Kenapa?"

"Bisa ketemu hari ini? Lagi gak sibuk, kan?"

Kebetulan sekali, hari ini aku memang berencana untuk menemuinya. Ada hal yang ingin ku sampaikan sebelum aku pergi. Untuk sebuah restu dan pamit.

"Tentu saja bisa, Sa. Aku ke sana sekarang?"

"Iya, jangan lama, ya."

Dari nadanya terdengar lirih, aku yakin sepuluh juta persen pasti ada yang ingin ia sampaikan. Sesuatu yang membuatnya risau atau kesalahanku akhir-akhir ini yang jarang menemuinya. Mungkin.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang