Malam

35 27 0
                                    

Terbangun.
Aku melihat jam, pukul 3 dini hari.
Badan ku terasa sangat sakit, ditambah pertama kali yang terlintas di pikiran ku ketika bangun hanya kejadian dengan Alyssa kemarin. Perihal yang sebelum dan sesudahnya terjadi, aku sudah tidak peduli.

Semalam, aku tidak sadarkan diri. Begitu sampai di rumah aku melihat Papa dengan tegap berdiri menunggu di depan pintu, lalu ketika aku ingin melewatinya, dia berusaha memukul namun aku menepis. Dan tetap berjalan menuju kamar, lalu tertidur.

Aku beranjak dari kasur untuk pergi ke kamar mandi, berniat membersihkan diri dan mengadu sambil berserah saja pada ilahi.
Saat keluar dari kamar, aku melihat di Ruang tengah ada kakak ku sedang bermain PS.
Aku berjalan melewatinya.
Namun terhambat, langkah ku tercekat karena sebuah lontaran pertanyaan yang membuat hati ku tidak terima.

"Mau jadi jagoan lu bangsat?!"
"Sudah mulai brengsek ya lu gua liat-liat."

Aku terdiam.
Lalu membalikan arah dan menjawab.

"Gua, nggak pernah ikut campur urusan lu, sedikit pun."
"Jadi, lu jangan pernah ikut campur sama masalah gua."

Setelah mendengar jawaban ku seperti itu, ia berdiri dari sofa dan berjalan sedikit cepat menuju ke arah ku.
Aku di dorong oleh cekikan, lalu di ludahi.

"Kalo masih nyusahin, jangan berlaga sok."
"Hidup masih numpang tapi laga berasa jagoan."
"Kalo nggak ada hukum, sudah gua bunuh lu."

Katanya.
Aku membalas dengan tersenyum sambil memalingkan pandangan, menghela nafas, dan menatapnya. Lalu menepis tekanan, dengan cara menginjak ibu jarinya dan mengadukan kepala.

Tiba-tiba Papa muncul dari pintu kamar, dan berteriak.

"SUDAH HAMZAH! MALIK!"

Kami berdua melihat ke arah Papah, lalu saling bertatapan.

Akhirnya, aku saja yang mengalah. Peringatan dengan panggilan Papa sudah mencapai batasnya. Dia memanggil ku dengan nama tengah, itu tandanya sudah bukan lagi permainan. Melainkan penyelesaian yang harus disudahi.
Aku melanjutkan langkah untuk pergi ke kamar mandi dan menuntaskan niat yang sudah direncanakan tadi.

— Selesai semua.
Aku memutuskan untuk tidak berangkat ke sekolah hari ini. Badan ku masih terasa pegal, dan suhu tubuh ku tinggi tidak seperti biasanya.

Tirai jendela ku buka, melihat sekeliling ternyata matahari sudah terbit dari upuknya.
Lalu handphone ku bergetar, masuk panggilan suara dari Alyssa.

"Assalammualaikum, Ray?"
"Semalam Abang apain kamu?"

Indah.
Suasana pagi diawali pembukaan dengan pertanyaan yang membuat ku merasa disudutkan.

"Gak ngapa-ngapain, ngobrol aja kaya biasa."

"JANGAN BOHONG!"

Sama seperti kemarin, nadanya meninggi. Aku masih berusaha menjawab dengan tenang untuk tidak lagi membuat kesalahan.

"Ini masih pagi, Sa. Masa iya sudah bohong lagi."

Lagi dan lagi, aku mengulangi hal seperti ini. Entah akan bertahan sampai kapan, atau akan terus berlanjut hingga kapan. Terserah.

"Benar, ya?"

Alyssa bertanya memastikan.

"Iya, serius."

Aku meyakinkan.

"Ya sudah. Jangan bolos tanpa alasan lagi, ya?"

"Iya, Alyssa."

"Hari ini berangkat, kan?"

"Enggak, tiba-tiba nggak enak badan."

"Kenapa?"

"Kayaknya, semalam pulang ketemu Abang masuk angin. Memang terlalu larut, sih. Ditambah, angin malam memang cukup seram."

"Ya sudah, istirahat, ya. Jangan melakukan hal yang memang tidak perlu dilakukan. Sore nanti sepulang sekolah, aku ingin menjenguk, ya?"

Sebenarnya, aku tidak masalah perihal Alyssa datang ke Rumah. Namun mengapa waktu tidak pernah tepat dengan keadaan.
Itu yang membuat ku takut, bagaimana jika bertanya lagi perihal lebam semalam ini yang di sebabkan oleh tingkah laku Abangnya.

"Sudah, nggak usah. Saya nggak suka di repotkan. Lain kali saja, ya? Kita masih bisa bertemu lagi ketika saya sudah mendingan. Bahkan jika esok sekali pun kamu meminta, saya sudah pasti bisa seperti biasanya."
"Lagipula, saya tidak akan tega jika nanti melihatmu pulang sendirian setelah dari sini tanpa ku antarkan."

"Enggak ada yang di repotkan, ya. Ini jelas mau dan pinta ku! Tidak usah banyak protes."

Ya, dia tetap bersikeras untuk menjenguk ku.
Apa boleh buat jika sudah begini. Aku benar-benar dibuat kalap dalam menjawab jika sudah berhadapan bicara dengan Alyssa, secara langsung maupun tidak.

"Iya, Alyssa. Baiknya saja bagaimana."

"Ya sudah, saat pulang nanti, aku ke Rumah di antar Abang."
"Kamu jangan telat makan, ya. Lalu diminum obatnya."
"Istirahat! Jangan main game terus."

Alyssa itu benar-benar sosok multitalenta dimata ku. Terkadang seperti menjadi sosok dokter pribadi yang memang sudah ku kontrak untuk sendiri, terkadang menjadi payung saat hujan, dan menjadi pohon yang rindang saat aku kepanasan.

"Iya, orang bawel."

"Ya, bye."

Ia menutup teleponnya.
Lalu aku segera mencari cara untuk menutupi bekas memar semalam, agar tidak terjadi lagi yang tidak diinginkan.
Dan aku menemukan satu obat yang memang dikhususkan luka, pemberian adik ku. Itu pun karena aku bertanya-tanya padanya, ditambah karena Alyssa akan datang kesini. Jika tidak, maka tidak akan.

Perasaan ku terbelah dua, di sisi lain senang, dan sisi yang satunya aku merasakan kesedihan.
Tidak jelas intinya apa, aku belum bisa mengutarakan semua yang dirasakan.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang