Entahlah.

26 25 1
                                    

Aku sudah sampai di rumah.
Perjalanan pulang kemarin, benar-benar membuat lelah sekali. Sehingga aku tidak sadarkan diri sehabis sampai dan menepi di sebuah kamar yang menjadi hal yang ku idam-idamkan saat rasa lelah menerjang kemarin.
Hari ini, aku tidak berangkat ke sekolah. Badan pegal sekali rasanya. Seperti tlah menyusuri berbagai lembah dan gunung disetiap sudut bumi.
Jadi, aku lebih memilih absen saja untuk satu hari ini.
Saking lelahnya, aku lupa mengabari Alyssa saat sampai Rumah kemarin.
Padahal aku sudah berjanji. Sial, tidak terbayar lagi.
Setelah berpisah dengan Wisnu, yang teringat dan terlintas di pikiranku hanyalah sebuah peristirahatan saja. Ya, kasur kesayangan ku ini.
Mama dan Papa pun bertanya bagaimana perjalanan dan pengalaman apa yang ku dapat saat aku berada disana, tapi aku hanya menjawab esok saja akan ku ceritakan.
Lalu, aku segera mengecek handphone sebelum membersihkan diri. Berusaha mencoba menghubungi Alyssa di pagi buta ini, dan berharap ia sudah terbangun untuk menjawab telepon ku.
Namun, ternyata tidak berhasil.
Hasilnya nihil. Tidak ada jawaban sama sekali apa yang ku tuju ini.

Aku langsung beranjak dari kasur dan membuka tirai jendela.
Cuaca berawan pagi ini, embun pun masih di tempatnya, masih belum surut. Padahal seharusnya masa yang ia tenggak sudah habis.
Mentari pun entah masih dimana, kurasa ada yang memarahinya. Sebab, seharusnya batang hidungnya sudah muncul di upuk timur.
Jadi mungkin ia sedikit ragu untuk muncul. Seringkali ia merasa malu, padahal kedatangannya sangat di nanti setiap insan yang menunggu.
Insan yang siap untuk menjalani aktivitas dibawah iringannya.

Aku mengambil handuk untuk menuju pergi ke kamar mandi.
Saat keluar dari pintu kamar, kebetulan di Ruang Tengah terdapat Papa yang sedang membaca koran sambil sesekali menyeruput kopi. Beliau bertanya pada ku sebelum hendak pergi ke kamar mandi.

"Kamu mau masuk hari ini, Ray?"

Tanya Papa, sorot matanya seketika mendadak berhenti pada apa yang digenggamnya.
Ya, sebuah koran yang seringkali ia beli setiap saat bersepeda pagi-pagi sebelum berangkat ke Kantor di lalu lintas.
Menatap ku dengan tatapan yang seolah sinis. Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Memang begitu adanya.
Maka bukan salah ku jika seperti itu, sumbernya saja begitu. Ya, benar kata pepatah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

"Nggak, Pa. Aku izin aja hari ini."

Langkah ku tercekat karena pertanyaan Papa, mau tidak mau pandangan ku harus tetap terseret padanya.

"Ya, sudah. Ingat, jangan keluar rumah jika tidak absen hari ini. Diam saja di Rumah."

Ujar Papa, ia mengerti bahwa kondisi ku memang patut dimaklumi. Dan Papa juga pribadi yang sebelum dijelaskan sesuatu, beliau selalu tanggap dalam menangkap. Jadi, dengan alasan ku yang sesimpel itu saja Papa langsung mengerti. Sebab mungkin logis.

"Baik, Pa. Aku mau mandi dulu."

Tidak ada lagi lontaran setelah aku menyatakan itu. Lalu ku lanjutkan kembali langkah yang sempat terhenti.

Setelah selesai Mandi, aku mendapati Mama dan Riza di Ruang Tengah yang Papa hinggapi. Mereka membawa barang bawaan banyak sekali. Sepertinya, mereka pulang dari Pasar, berbelanja kebutuhan dapur.

"Ma, Ray nggak masuk dulu, ya. Hari ini, badan Ray masih capek."

Ucap ku pada Mama dengan datar, dengan mengusap-ngusap pelan rambutku yang masih basah.

"Sekolah, Ray! Kamu sudah kelas 12. Kalau terus-menerus bolos bisa tidak lulus nanti. Dan kamu sudah mendapatkan score dari sekolah, kan, kemarin! Seharusnya kamu lebih giat lagi masuk ke sekolah."

Pandangan Mama terseret dengan cepat saat aku mengatakan hal itu, matanya begitu tajam, nadanya meninggi. Meruntutkan setiap puing-puing yang mengganjal karena pernyataan ku. Benar-benar siap menerkam mangsa.

"Kirana, biarlah Ray tidak masuk hari ini. Dia mungkin kelelahan sebab perjalanan kemarin memakan waktu yang tidak sebentar. Wajar saja. Tidak perlu menuntut berlebihan. Lagipula, tinggal mengirim surat saja ke pihak sekolah langsung selesai. Dan untuk kali ini, alasannya tidak dibuat-buat. Murni dan netral."

Mendengarkan pembicaraan kami, Papa menyimpan korannya sejenak. Menatap Mama seraya bicara dan meluruskan.

"Kamu selalu seperti itu pada anak-anak, Arief! Selalu membenarkan sesuatu yang salah! Jelas sudah bahwa dia itu seringkali membesarkan hal kecil."

Mama menumpas perkataan Papa dengan cepat dan lugas. Suasana semakin memanas. Aku hanya diam. Lemas. Tidak tahu harus berbuat apa. Adik kecil ku hanya mematung dan tertunduk. Dia ketakutan melihat kondisi seperti ini. Aku langsung membawanya ke dalam Kamar untuk menenangkan. Kakinya bergetar dan bibirnya mengigil. Aku tidak kuasa.

"Riza, Mas minta maaf, ya. Gara-gara Mas, Riza jadi mendengar sesuatu yang tidak enak."

Aku mengusap rambut lurus dan tebal Riza, lalu memeluknya. Agar kekhawatiran dan ketakutannya mereda.
Tidak ada jawaban dari Riza, dia hanya membalas pelukan ku dengan erat.

Suasana diluar masih terdengar panas, gejolak dari masing-masing belum turun.
Aku menjadi bingung dan gusar. Gara-gara hal sekecil ini, pagi yang seharusnya dimulai dengan ketenangan, malah berantakan.

"Kamu yang terlalu, Kirana. Yang mengecilkan hal besar itu dirimu!
Aku bukan ingin membela anak-anak ataupun membenarkan yang salah, tapi memang seperti itu adanya. Kau saja yang keterlaluan terhadap mereka!"

Hentakan pintu terdengar sangat keras dari luar setelah Papa menyatakan hal itu dengan nada tinggi, sepertinya beliau pergi ke kantor untuk mengalah. Meninggalkan Mama yang seringkali keras jika Papa berusaha meluruskan. Padahal, waktunya masih sangat lama. Biasanya, ia selalu menunggu masakan Mama sebelum berangkat. Selalu menyempatkan diri untuk memakan masakan Rumah, meskipun harus terlambat. Papa pribadi seringkali berkata bahwa tidak apa untuk terlambat, daripada tidak sama sekali.
Namun aku sering menggerutu karena alasannya yang tidak akurat itu.
Mentang-mentang Direktur.

Aku mencoba keluar kamar untuk memastikan keadaan diluar seperti apa.
Aku melihat Mama duduk di sofa dengan lemas, kedua tangannya memegang kepala. Papa, sudah berangkat pergi.
Aku tidak tahu harus apa. Melihat situasi seperti ini, aku ingin sekali merubah. Memakai seragam lalu pergi. Namun, berat sekali. Aku benar-benar tidak memiliki kekuatan untuk pergi. Ditambah, keadaan ini membuat ku semakin lemas.

Ini salahku, semua inti masalah keluarga ini ada padaku.

Matahari masih belum muncul, dia mengingkari janjinya untuk hadir di pagi ini. Cuaca yang gelam seolah menggambarkan perasaan ku saat ini. Aku hanya diam. Menatap ke luar dengan tatapan yang kosong. Beberapa kali telepon berdering, aku tetap belum ingin mengangkatnya. Padahal aku tahu, itu Alyssa. Namun, aku masih tidak bisa. Ada petir yang menyambar hatiku, semuanya semrawut. Yang terlintas hanyalah kebencian. Hanya kebencian.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang