Live the own life.

16 16 0
                                    

Setelah kepergian Papa yang disebabkan oleh serangan jantung yang menyerang kedua kalinya, aku memutuskan untuk pulang dan kembali tinggal di rumah. Aku tidak menanyakan lebih dalam tentang penyebab awalnya seperti apa dan bagaimana pemicu yang berujung seperti itu soal Papa kepada Mama atau siapapun yang mengetahui. Sebab, rasanya jahat sekali. Tidak membaca suatu cerita sedari awal, tetapi ingin mengetahui akhirnya seperti apa.
Bukankah terlalu keparat jika aku melakukan hal seperti demikian?
Cukup sampai tahu inti arahnya ada di mana saja, meskipun tidak benar-benar sepenuhnya. Yang terpenting bagiku, aku mengetahui sekalipun tidak seutuhnya.
Aku juga mengalahkan diri dengan sengaja pada realita, ada tanggung jawab dan kewajiban yang lebih pantas selain mengejar mimpiku, yaitu menjaga Mama dan Riza. Perihal kerasnya keinginan Mama yang bersikeras memintaku untuk menempuh pendidikan lagi dalam melanjutkan kehidupan ke depannya, aku terima dengan lapang. Meskipun masih dalam tahap setengah ragu, akan tetap ku coba.
Aku hanya tidak ingin mengecewakan dan merasakan kehilangan seseorang lagi yang hidupnya penuh makna akan alasan untukku tetap bertahan membuka mata dan mau melanjutkan perjalanan hidup yang terkadang mengenaskan dalam membunuh harap pada realita.
Sumpahku pada diri sendiri setelah peristiwa yang terjadi kemarin adalah aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi baik yang terpandang umum bagi orang-orang.
Aku pun sudah berbincang dengan Mama secara empat mata perihal bakat yang selama ini terpendam, dua atau tiga tahun ke depan aku akan melanjutkan pendidikan dan mengabulkan permintaan Mama.
Tapi dengan satu alasan, yaitu;
Tidak menggantungkan beban kepada siapapun.
Aku ingin berdikari dan menapak bumi ini menggunakan kakiku sendiri tanpa direngkuh oleh orang lain yang sebenarnya tidak memiliki tanggung jawab atas diriku sepenuhnya. Dan memang yang lebih baik untukku, yaitu diriku sendiri. Bukan orang lain. Dan Mama setuju untuk itu.

Beberapa hari setelah kepergian Papa, saudara kandung beliau yang tinggal di Bali kembali ke sini, ke rumahku. Padahal, satu hari setelah Papa dimakamkan dia baru pulang dan membentang kembali ke tempatnya berasal. Lalu dengan merepotkan diri tiba-tiba kembali lagi ke sini. Ah, entah apa maksud kedatangannya itu, aku tidak mengerti. Dan tidak tertarik untuk mengerti.
Tapi, sudahlah. Mungkin banyak hal yang belum sempat tersampaikan saat itu di hari kepergian Papa. Jadi, beliau mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan itu semua agar tidak merusak rencana dan suasana.

Aku sedang berdiam diri di kamar, tidak melakukan apa-apa. Hanya selonjoran, duduk menatap laptop tanpa melakukan apa-apa, dan membaca buku. Biasanya, selalu saja ada kegiatan yang bermakna yang bisa ku lakukan ketika di kamar sendirian, seperti melakukan salah satu kegiatas di atas. Namun entah kenapa, rasanya hambar sekali semua yang berusaha ku lakukan untuk mengusik kebosanan itu ketika Papa pergi untuk selama-lamanya di muka bumi ini. Rumah yang terasa hangat tadinya, mendadak dingin dan sepi. Menurutku kegiatan satu-satunya yang bisa sedikit mengalihkan kejenuhanku terhadap hidup hanyalah membalas pesan yang terkirim dari Alyssa dan memberikannya sebuah kabar.

Aku mengundurkan diri dari pekerjaan yang dipimpin oleh Om nya Wisnu, aku pun sudah menjelaskan alasan yang efektif dan mudah diterima perihal alasan mengapa aku pergi dari perusahaan itu kepada beliau dan temanku, Wisnu. Agar tidak ada salah paham, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang menyebabkan tali silaturahmi dengan sahabatku merenggang.
Untuk beberapa saat dan waktu, aku ingin merehatkan diri terlebih dahulu. Rasanya, berat sekali. Aku pun tidak ingin memaksakan diri untuk terus mengayuh roda yang sedang mengalami kebocoran di dalamnya, maka dari itu aku lebih memilih untuk mengistirahatkan perjalanan dan mencari bengkel sebagai tempat perbaikan.
Sebenarnya di hari-hari yang mulai membuatku suntuk seperti ini, aku sangat ingin bertemu dengannya, namun waktu tidak tepat. Mulai beberapa bulan yang akan datang, dia akan memulai perang sengit melawan kenyataan, yaitu ujian nasional.
Jadi, aku pun tidak ingin mengganggunya, apalagi dengan sengaja terus menghubunginya. Aku membatasi diri dengan berlaku secukupnya; Jika Alyssa sedang membutuhkanku untuk ditemani mengobrol via suara, aku layani. Jika tidak, aku menunggunya sampai benar-benar selesai dan ia memiliki waktu senggang yang nyaman untuk dipakai.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang