Lanjutan

36 30 0
                                    

Aku diam di warung dekat sekolah, untuk menunggu sisa waktu yang sudah ku tentukan.

— Terdengar dari arah sekolah, lonceng berdentang begitu kencang. Lalu aku melirik jam tangan di lengan kiri ku ternyata tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 3 sore.
Waktu yang sudah di nanti akhirnya sampai.

Aku berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah, terlihat dari kejauhan pucuk yang di tunggu sudah tiba dengan sendirinya.
Inisiatif yang patut di apresiasi.

Ketika sampai, keadaan masih seperti biasa. Dan aku belum langsung melakukan aksi, karena masih hati-hati melihat situasi.
Berjaga-jaga adalah hal yang utama, kita tidak pernah tahu yang akan terjadi.

"Dateng juga, punya nyali ternyata l-"

"Mau dimana?"

Dia memotong pembicaraan ku

"Ikut gua."

Tawaran ku, lalu dia mengiyakan dengan mengikuti ku.

Kami berdua pergi ke daerah belakang sekolah.
Masing-masing mengambil motor dan berjalan bersamaan.
Ternyata ketika sampai di tujuan, ada segerombol sampah yang menghalangi.

"Lu yang namanya Al?"

Dari gerombolan itu, tiba-tiba ada satu orang yang maju ke hadapan ku untuk bertanya.

"Al siapa? Nggak usah sok asik."

Jawab ku dengan nada datar, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ada masalah apa lu sama Rian?"
"Jagoan lu?"

"Bukan urusan lu, minggir."

Aku menyingkirkannya dari pandangan ku, terasa sesak dan mual saat melihatnya, apalagi saat berbicara seolah dia kaptennya.
Lalu menoleh ke belakang, melihat Rian yang masih mengikuti ku dari belakang.
Ketika hendak melanjutkan perjalanan, berencana mengubah arah, tiba-tiba aku di bokong oleh seseorang.
Aku terjatuh dengan motor secara bersamaan, lalu aku di keroyok habis-habisan.
Semuanya selesai ketika ada warga yang memisahkan.
Sial, si pengecut itu sudah merencanakan semua dengan jelas.
Dan berjalan dengan lancar.

Aku berusaha bangun ketika mereka berlarian setelah warga menghampiri. Dan mengatakan bahwa aku tidak apa-apa meskipun sudah terjadi kejadian yang tidak di inginkan.
Lalu aku mulai menyalakan motor dan pergi dari tempat tersebut.

Di tengah perjalanan saku jaket kanan ku bergetar karena menerima panggilan, ternyata dari Alyssa.
Aku minggir sebentar untuk menjawab.

"Assalammualaikum, Ray. Halo?"

"Wa'alaikumsalam, Iya, Sa?"

"Mau minta tolong, boleh?"

"Dengan senang hati, ada apa?"

"Abang ku nggak bisa jemput hari ini, katanya ada matkul tambahan."
"Pesan ojek online di cancel terus."
"Bisa tolong jemput aku di sekolah?"

Alyssa menjelaskan tujuan sebenarnya apa yang ingin ia sampaikan.

"10 menit sampai, tunggu sebentar, ya."

Aku menyetujui permintaan Alyssa.

"Makaaasih, hati-hati!"

Ia menjawab dengan nada senang, aku menutup teleponnya. Lalu tanpa mengulur waktu lagi, langsung ku tancapkan gas untuk melanjutkan perjalanan, namun berganti arah, karena harus pergi ke tempat sekolah Alyssa.

Sampai.
Aku melihat Alyssa sudah menunggu di dekat gerbang, lalu ku hampiri.

"Hei, ayok?"

Dia tidak menjawab, hanya mematung sambil menatap dengan mengamati.
Tiba-tiba mimik mukanya berubah seketika, menjadi sedih, sangat sedih.
Aku tidak menyadari mengapa tiba-tiba rautnya berubah sangat drastis, karena sungguh, bukan tidak ingin menanyakan, ia selalu mempunyai teka-teki yang sulit untuk dipecahkan.
Aku berusaha mencari letak yang membuat rautnya sesedih itu, ternyata saat melihat ke arah spion motor yang sedikit retak akibat jatuh tadi, sekitaran wajah ku cukup banyal lebam dan memar.
Mungkin ini, penyebab utamanya.
Bodohnya lagi, mengapa aku telat sekali dalam menyadari hal seperti ini.

"Kenapa lebam? Habis berantem?"

Dengan sedikit nada sendu ia bertanya, mengalihkan semua yang ku coba tutupi dengan baik-baik saja.

"Nggak, nggak ada apa-apa. Cuman ya, ada insiden kecil."

Aku berusaha menjawab pertanyaannya itu dengan tersenyum, agar dia yakin bahwa tidak ada yang hal terlalu serius terjadi.

"Jawab serius dan nggak usah bohong bisa nggak, Ray?"

Alyssa sedikit membentak dan menaikkan nadanya dari rendah ke tinggi.

Aku lalu mencoba menghela nafas sebentar, dan menjawab.

"Ya sudah, saya jelaskan."
"Saat pulang dari sekolah tadi, diperjalanan sebelum kamu menelepon saya di hadang seseorang, bergerombol. Mereka meminta sedikit uang, sebenarnya saya bisa saja memberi lalu beres. Namun, enak sekali rasanya meminta hasil tanpa melewati proses. Jadi, tidak saya kasih. Dan terjadi insiden kecil itu."

Ya, aku mengarang cerita lagi. Untuk membuat kekhawatiran dan kecemasannya itu surut. Sungguh, berbohong bukan menjadi definisi dan motto hidup ku. Namun ini benar-benar perlu dilakukan, sebab, yang sedang ku hadapi ini manusia berhati lembut. Aku tidak ingin menyakitinya.

Mendengarkan jawaban ku seperti itu, ia malah menatap ku dengan dalam, wajahnya malah semakin lemas.
Matanya berbinar namun bukan memancarkan keindahan, tapi kesedihan yang cukup dalam.

Tiba-tiba dia memeluk ku dan tangisnya pecah. Sungguh, aku merasa menjadi manusia yang paling bersalah.

"Nggak boleh nangis, Sa."
"Saya nggak apa-apa, lagipula, selagi saya masih bisa berjalan, kamu tahu saya bukan orang yang mudah menyerah, bukan?"

Aku mendekapnya, berusaha mengeluarkan sedikit kalimat yang mungkin bisa menenangkan tangisnya.

Dia mengeratkan pelukannya kepada ku, entah kenapa tiba-tiba apa yang di rasakan hati dia sampai pada perasaan ku.

"Kenapa, sih. Ray.."
"Coba kalau kamu kasih, mungkin ini nggak akan terjadi."

Nada bicaranya benar-benar membuat ku yang mendengar saja sangat pilu.

"Iya, Sa. Lain kali, saya pasti beri."

"Jangan ada lain kali, ini pertama dan terakhir kali aku melihatmu seperti ini. Aku tidak ingin ini terjadi kembali, Ray. Ku mohon."

Pengalihan ku ternyata salah, itu tidak berarti baik baginya.

Aku berusaha menenangkan, perlahan membangkitkan tubuhnya yang jatuh dalam peluk ku lalu mengusap air matanya.

"Sini, lihat sebentar."
"Ah, tetap cantik dan tidak ada yang berubah. Bohong ternyata isu yang bilang bahwa perempuan cantik yang menangis akan mengurangi kecantikannya, ternyata ini tidak."

Alyssa menepis genggaman ku.

"Ray, mau sampai kapan terus berlari? Terus-menerus sembunyi dari apa yang kamu hadapi? Apa dengan kamu melakukan ini semuanya akan selesai dan tidak terjadi apa-apa lagi?"
"Aku bukan anak kecil yang mudah kamu bohongi, Ray. Kamu salah besar jika terus berpegang teguh terhadap keyakinan mu dalam menyelesaikan masalah dengan cara seperti itu."

Ini benar-benar mengejutkan, sangat tidak bisa diterima kepala dan hati secara bersamaan. Jadi, dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa? Mengapa malah menjadi seperti ini? Sial.
Aku sudah tidak bisa berkutik apa-apa lagi.

"Ya sudah, jika kamu sudah mengetahui yang sebenarnya terjadi."
"Kita bicarakan nanti, ya? Di halaman rumah mu?"
"Yuk, naik."

Ia menunduk tak berkutik, namun merubah tempat geraknya dan berpindah naik ke atas motor ku.
Banyak sekali yang memperhatikan, tapi aku tak peduli dan terus melanjutkan untuk sampai kepada tujuan.
Di perjalanan, dia masih tidak bersuara. Mungkin masih tak stabil emosinya, jadi aku lebih baik diam daripada semakin memperkeruh suasana.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang