Tugas akhir yang kukerjakan bersama Naya telah rampung, tinggal menunggu beberapa hari untuk hasilnya nanti.
Saat waktu seluruh mata kuliah telah selesai, aku memberanikan diri untuk mendekati Naya kembali.
Rasa malu dan ragu sebenarnya menjalar pada diriku, tetapi, aku berusaha untuk menumpas itu. Karena kini, sebuah dinding yang menjadi penghalang untukku terus berjalan telah rubuh dengan seketika tanpa dipinta.
Aku menyadari, sikapku ini seperti manusia tidak tahu diri dan posisi. Sering kali mengulang serapah yang sempat terucap, bahkan tidak jarang pula sampai berkali-kali menelan ludah yang telah keluar.
Tetapi, itu semua hanyalah kendali amarahku yang melepas nalar sehat, sehingga sifat setengah biadab selalu terlepas dari ranahnya."Pulang bareng, yuk?"
Ucapku pada Naya yang masih sibuk bergelut dengan sisa-sisa kertas catatan yang telah diprint namun belum sempat ia salin ke buku sepenuhnya. Padahal, jam mata kuliah sudah usai, Dosen pun sudah beranjak pergi dari tempatnya.
"Boleh."
Jawab Naya dingin, sejenak menatapku. Kemudian, kembali melanjutkan hal yang sedang ia kerjakan.
"Udah, lanjut nanti malem aja. Aku bantu."
Aku mengambil paksa bolpoin Naya dan membereskan buku yang berserakan di mejanya beserta kertas-kertas catatan yang berisi materi kuliah yang sudah dan akan datang.
Ia memang pribadi yang ulet, selalu teliti dalam mengerjakan apa pun. Bahkan, materi yang tidak terlalu penting pun, ia selalu mencatat. Katanya, untuk jaga-jaga. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti."Ya udah."
Ujarnya pelan, seolah pasrah. Air mukanya memang sudah kesal menghadapi kertas-kertas itu yang sulit sekali untuk diselesaikan.
Kemudian, kami berjalan beriringan menuju parkiran untuk mengambil mobil Naya. Entahlah, terkadang aku tidak diberi pengertian terhadap jalan pikirnya. Mengapa ia dengan mungkin dan tak ragu menerima kehadiranku kembali tanpa sebuah perdebatan. Padahal, aku sudah menerka-nerka hal itu sebelum menekatkan diri mendekatinya kembali. Tetapi, responnya benar-benar biasa saja. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami berdua.
"Kita mau ke mana?"
Tanya Naya padaku setelah kami berdua masuk ke dalam mobil.
"Di sini ada Pantai nggak, sih?"
Aku menatapnya dan balik bertanya.
"Ada, lah. Emangnya di Bandung."
Jawabnya menyindir kota kelahiranku dengan nada sebal.
"Ye, songong."
"Tapi fakta, kan?"
"Iya fakta, Naya."
Ucapku dengan nada memelas seolah pasrah agar tidak terjadi perdebatan dengan Naya.
"Jalan aja kalau mau ke Pantai, nanti aku tunjukin."
Lalu, aku menyetujui Naya dengan mengangguk tanpa menjawab seraya menyalakan mesin mobil.
***
Kami berdua sampai di Pantai Parang Tritis setelah memakan waktu yang cukup panjang.
Begitu kami sampai, kami disuguhkan dengan cakrawala yang mulai memancarkan warna jingga merona.
Aroma air laut semakin sengit menyusut ke rongga hidung.
Debur ombak berhamburan, semilir angin dari arah laut menuju pesisir semakin kencang dan mencekam.
Aku dan Naya menatap langit yang sama, sebuah senja kesepian."Ada apa, Ray?"
Ucap gadis itu seolah mengerti keadaan yang tengan menimpaku sekarang setelah sekian lama mematung bersamaku menatap Swastamita.
Sejenak, aku mengalihkan pandangan menghadapnya lalu meraih tangannya."Aku minta maaf, Nay, untuk perlakuan bodoh kemarin. Sebenarnya, aku gak-"
"Aku ngerti, kok, Ray. Kamu lagi terbelit sesuatu, kan, waktu itu? Aku tahu kalau diri kamu yang asli itu gak akan sampai kayak gitu sama aku."
Naya memotong penjelasanku seraya tersenyum lengang.
"Kenapa kamu bisa yakin kalau itu bukan diriku yang asli?"
Aku mengerutkan dahi.
"Feeling perempuan itu kuat, tahu. Dia mampu membedakan mana yang asli dan palsu ketika ia mempercayai sesuatu, terlebih jika pada manusia. Dan kalau kamu tanya kenapa aku bisa yakin bahwa itu bukan diri kamu yang sebenarnya.. Ya, karena aku yakin dan percaya sama kamu."
Ujar Naya dengan mantap ketika menjelaskan jawaban atas pertanyaanku.
Sungguh, aku malu bukan main ketika mendengar jawaban Naya yang seperti itu. Karena, sosok yang sedang berhadapan denganku ini memiliki hati sebersih mutiara. Bahkan ketika sebuah tinta mencoreng keindahannya, prinsipnya tidak berubah sama sekali.
Kemudian, aku menceritakan semuanya pada Naya tentang mengapa sikapku kemarin-kemarin. Walau pun sebenarnya ia tidak meminta, tetapi tetap saja aku ingin menjelaskan semuanya agar tidak ada perasaan yang mengganjal di tengah.
"Sekarang, kan, udah selesai semuanya. Janji sama diri sendiri, ya? Buat gak jadi orang lain lagi apa pun halnya. Entah itu tentang sesuatu yang kamu mau, atau pun hal yang gak terlalu perlu."
Naya menatapku dalam, binar cahaya yang berkilauan di bola matanya akibat pantulan sinar jingga begitu menenangkan.
Namun, aku tak mampu menatap dengan jangka waktu yang lama sesuatu yang indah itu. Terlalu indah, sehingga manusia berperasaan kotor sepertiku tidak pantas untuk mendapatkan itu."Aku juga gak mau terjebak dari perasaan ini, Nay. Aku pun gak pernah minta sama Tuhan buat ngerasain perasaan setelah berpisah ini. Aku pernah minta satu, yaitu bahagia selamanya bersama orang yang aku cintai. Tapi kenapa Tuhan malah balas dengan cara ini? Kenapa orang yang kujadikan sebuah paku untuk melaju pulang dan pergi malah berlari?"
Aku menunduk, mengutarakan perasaan yang terbenam di benak hati sejak lama.
"Tapi kan, Ray, hidup tuh gak selalu tentang bahagia. Gak semua permintaan yang kamu langitkan akan terkabul sempurna. Kamu ingat bukan bahwa roda itu selalu berputar, porosnya memang tidak akan diketahui kapan berhenti. Hanya satu yang perlu diyakini, Ray. Hujan akan reda, panas pun tak akan selalu betah hinggap di sana."
Naya meraih kembali tanganku yang sempat terjatuh, dan merengkuhnya semakin erat.
Aku tersenyum, lalu menyanggah raga yang sedari tadi terpaku berhadapan denganku.
Lantas, kami berpelukan.Bagai setenang air lautan ketika aku dan Naya saling meraih raga yang sempat terlampau sepi dan hampir asing. Ada perasaan hangat seperti senja yang sedang memancar di sana. Meskipun sejekap, namun mampu membuat damai yang tidak pernah dituai oleh pagi dan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...