Purnama

11 8 0
                                    

Aku telah sampai di Bandung.
Diiringi rintik hujan yang membuat basah kuyup sekujur tubuh.
Langit kota ini, seolah menggambarkan perasaan yang tengah melandaku sekarang.
Bagai riuh air yang berkerumun datang menghujam puing-puing kecil pikiran, redup bagai arah mata angin yang mulai sayu, gugur dan gagal bersemi karena layu kemarin menyebabkan mati.
Aku berjalan di tengah-tengah kota yang begitu berisik akan banyak hal, baik dalam urusan keinginan atau hanya sekedar jalan yang perlu ditempuh karena kebutuhan. Mungkin yang jelas hanyalah masing-masing hasrat untuk memenuhi tiap kehausan yang menjera mata.

Kepulanganku disambut oleh Mirzha. Ya, sahabatku yang paling dekat diantara siapa pun. Karena memang dengan ialah aku pertama mengenal apa itu teman, hanya dengan dia aku bisa merasakan suatu ikatan yang berbeda dari yang lainnya.
Juga, memang sebelum bertemu Nizar, kami memang lebih dulu menjalin persahabatan ini, berdua.
Sampai pada akhirnya, terbentuklah formasi yang mungkin jika dilihat dalam regu sepak bola, tim kamilah yang minus dan kekurangan apa-apa. Namun dibalik itu semua, ada kelebihan yang mungkin bisa melampau banyak hal. Dan aku selalu yakin hal itu jika bersama mereka.

Memang bukan sebuah kebetulan pula aku hanya dijemput oleh Mirzha saja, karena yang lain seperti Nizar dan Rian sedang sibuk bekerja. Padahal, ini hari Weekend. Tetapi mereka masih bergelut dengan kenyataan tanpa diberi jeda sejenak. Alasannya, sudah pasti tidak jauh karena deadline yang menumpuk dan banyak hal yang perlu dikoreksi.
Tapi sudahlah, lagipula kehidupan tidak akan pernah peduli sekali pun kau di dera berkali-kali bahkan di intimidasi.

"You okay, Bro?"

Ucap Mirzha saat posisi kami sudah saling berhadapan.

"Ya, i'm fine. Cuma agak capek, sedikit. Perjalanan jauh, kan."

Aku menjawab dengan tersenyum simpul.

"Yang terpenting, lo sampai dengan selamat."

Mirzha memboyongku dengan merangkul.
Responku hanya mengangguk, tidak lebih. Disertakan dengan raut yang masih memancarkan senyum simpul yang penuh kebohongan.

Aku langsung diantar ke rumah oleh Mirzha, dan setelah itu ia berlalu tanpa masuk terlebih dahulu. Katanya, ia ingin bertemu dengan kekasihnya. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dikarenakan pekerjaan, jadi sela-sela waktu seperti inilah yang menjadi kesempatan emas. Aku menyetujuinya, tanpa berpikir sedikit pun keburukan. Toh, hidup memang bukan tentangku saja, bukan? Lagipula, ia berjanji akan kembali disertakan sahabat-sahabatku yang lain saat jam kerja mereka usai.

Seperti biasa, yang kulakukan ketika masuk ke dalam rumah dan bertemu Mama adalah memeluknya.
Memeluk raga yang semakin hari semakin kering, sebuah raga yang mungkin akan sulit lagi untuk kurengkuh suatu saat nanti jika aku sudah benar-benar pergi dari negeri ini. Terlebih, waktunya tidak akan seperti kemarin-kemarin.
Akan banyak hal masa yang ditenggak habis di sini tanpaku, dan mungkin akan banyak juga waktu yang kuhabiskan ketika di sana selama beberapa tahun lamanya, tanpa mereka.
Jadi, untuk kesempatan ini, seperti yang Mirzha lakukan pada kekasihnya, aku memanfaatkan sebaik mungkin agar.. Agar tidak menyesal. Agar semua lepas dan bebas. Tidak ada yang mengganjal. Ya, meskipun sebenarnya tidak bisa dipungkiri, akan selalu ada yang menyekat perasaan, terutama rindu yang akan menjadi tokoh utama dan merajalela dalam segala hal.

"Kamu baik, Nak?"

Mama memelukku erat, dekapannya selalu mampu menghangatkan suhu yang memiliki derajat terdingin sekali pun, sungguh. Aku berani jamin dengan bayaran harga diri jika salah.

"Selalu."

Jawabku singkat seraya mencium pipi beliau berulang kali.

"Syukurlah."

Mama tersenyum.
Lalu, adik kecilku, Riza Anisyah. Berdiam diri di belakang Mama dengan menatap sendu kami berdua yang tengah tenggelam dalam pelukan kerinduan yang sudah tak tertampung jumlahnya.
Matanya berbinar, memperlihatkan rindu yang tak kalah banyaknya dari Mama padaku.
Kemudian, aku menyeretkan pandangan dan menatapnya dalam. Posisiku seperti seorang manusia yang bersimpuh permohonan maaf.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang