Peluk

16 24 0
                                    

Waktu sudah petang, langit pun sudah ikut berganti warna dasarnya.
Sebentar lagi, jingga yang warnanya sayup malu itu akan dilahap habis oleh gelap. Malam pasti akan datang, namun entah dengan bintang. Katanya, sikecil yang indah itu seringkali berbohong untuk menunaikan janji.
Meskipun terlihat sempurna dan cantik, dia tidak bisa dipercaya. Sebab, hadirnya sangat pelik.
Cukup lama aku bercengkerama dengan kekasihku, Alyssa.
Banyak sekali hal yang kami ciptakan berdua ketika bersama. Apapun yang kelihatan mungkin, selalu menjadi nyata bila kita berdua saling meyakinkan.

"Sa, aku perlu pulang."

Ditengah pembicaraan yang sedang memekak, aku menghentikan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Terkesan jahat, namun apa boleh buat?
Alyssa mematung. Dia diam ketika aku mengutarakan hal itu.
Sungguh, naif sekali rasanya.
Aku pun tidak ingin meluncurkan sesuatu yang membuat kita menjadi berjarak lagi, tapi kehidupan yang lain perlu ku arungi kembali. Meskipun sekarang dasarnya, Alyssa pun bagian yang sama penting.

"Nggak pa-pa, kan?"

Alyssa masih terdiam, masih belum menyatakan sedikitpun kata dari apa yang ku lontarkan tadi.
Aku mengerti, dia ingin bersamaku lebih lama lagi. Aku pun ingin, sangat ingin. Tapi.. Ah, sudahlah.

"Aku janji. Minggu ini, kita pasti akan bertemu lagi. Bahkan sepertinya, kita akan menghabisi hari itu bersama seharian. Aku akan mengajakmu ke sebuah tempat yang indah di kota ini.
Kamu pasti belum pernah kesana, dan ku pastikan juga bahwa kamu akan menyukai sekali tempatnya."

Tandasku lugas, mencoba dengan paksa memecahkan diamnya.
Setelah aku mengatakan hal tersebut, pandangan Alyssa berpaling menjadi teralih padaku.
Dari lemas, menjadi antusias.
Tatapannya berbinar, memancarkan senang yang memang selalu ingin ku lihat dan ku dambakan setiap kali bertemu dengannya.
Ini, baru gadis yang sangat ku kenali. Selalu merubah perasaan dengan cepat tanpa bersyarat.

"Sungguh?!"

"Ah, Sa. Sudah selesai sampai disitu saja kebohongan yang sempat terulang kemarin. Sekarang, aku tidak ingin melakukan hal itu terjadi lagi."

Aku menumpas pertanyaan antusiasnya dengan cepat seraya mengelus kepalanya.
Alyssa merekahkan senyum yang begitu lengang, senyum yang didasari sebuah ikhlas tanpa paksaan.

"Terima kasih, Ray. Selalu membuatku merasa senang."

Alyssa memelukku seperti biasa. Lama-lama aku bisa membiasakan, dan juga bisa mengartikan bahwa disetiap pengungkapan rasa senangnya, dia pasti meluncurkan semua dengan pelukan.

"Sudah menjadi kewajibanku, Sa. Membuatmu merasakan hal ini."

Aku membalasnya dengan dekapan.

Sungguh, aku selalu merasakan tenang yang benar-benar diselimuti kedamaian ketika berpeluk dengan Alyssa. Seolah apapun bentuk keresahan, itu tidak akan pernah sampai, jika aku disini, bersama Alyssa.

"Alyssa?"

Dengan perlahan, aku melepaskan pelukannya. Lalu kami saling menatap. Aku membenarkan rambutnya yang tergerai lepas berantakan menjadi ke belakang telinganya.
Aku menyentuh dan memegang kedua pipinya seraya berkata.

"Apapun yang kau mau, pasti akan ku usahakan. Meskipun tidak bisa, akan ku cari jalan keluar untuk mengubah takdir menjadi nasib. Bahkan jika kamu meminta laut dan gunung, aku akan mempersembahkan semesta beserta seisinya."

Alyssa menatapku dengan berbinar, kali ini binarnya berubah, ada sedikit rasa haru yang mengiringi suasana hatinya.

"Raay.."

Lirih sendu Alyssa.

"Nggak, nggak boleh sampai menangis. Aku tidak ingin kamu meneteskan air yang diam dikelopak matamu lagi. Cukup sampai kemarin, cukup yang sudah terjadi, jangan diulang lagi. Aku ingin menutup semua itu. Kebohongan dan tangisan. Meskipun tangisanmu senang, apalagi jika kesedihan. Jangan sampai. Perihal bohong, apapun bentuknya semoga tidak pernah lagi terulang."

Alyssa tersenyum setelah mendengarku bicara hal itu.
Sesuatu yang memang tulus dari dasar hati.

"Ya sudah, aku pulang dulu, ya. Salam pada Abang, bilang, tadi Rayyan hinggap disini sebentar untuk menemanimu."

"Baik, komandan!"

Dengan sergap ia menjawabku seraya tangannya menempel di dahi seolah seperti hormat pada bendera merah putih.

"Jaga diri baik-baik, jangan lupa kerjakan jika ada tugas, ya?"

"Aman."

"Ya, aku pulang."

Perlahan, aku menjauhi gadis yang kini menjadi favoritku untuk memulai dan menutup hari.
Langkah ku lengang sebab kepergian direstui dengan baik.
Aku menyalakan motor, lalu melirik untuk menyampaikan hal satu kali lagi tanda kepergian dengan melambaikan tangan.

"Hati-hati, ya! Ingat syarat yang Ayah dan Ibuk titipkan."

Alyssa berteriak untuk melakukan hal yang sama, memberi sekali lagi tanda kepergian.
Aku tersenyum, lalu langsung menancapkan gas.

Entahlah, aku sudah tidak bisa mengartikan atau mendeskripsikan rasa bahagia dalam kata.
Seolah, semuanya dilahap habis dengan bulat tanpa tercerna.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang