Tunggu saja, di situ.

18 16 0
                                    

Akhirnya, hari kepergianku tiba.
Agar tidak terjebak macet ketika pergi ke Bandara, aku berangkat dari rumah sekitar pukul 5 pagi setelah Shalat Shubuh, meskipun sebenarnya jadwal penerbanganku dimulai pukul 8.30. Ditambah jika lebih dari pukul 7, suasana jalan kota Bandung akan marak oleh pengendara yang hendak pergi bekerja. Jadi, main aman saja kata Pamanku untuk menghindari itu semua.
Aku berangkat diantar oleh Mama, Kakak, dan Riza. Tak lupa dengan sahabat-sahabatku yang lain yang sudah mempersiapkan diri untuk mengantarkanku sampai di sana.
Ya, sebagai ucapan perpisahan sementara saja karena kami tidak akan bertemu selama beberapa waktu lamanya.
Perihal Alyssa, katanya ia akan menyusul beserta Ayah dan Bunda ketika aku sudah sampai di Bandara.
Padahal kemarin aku sudah mengatakan padanya untuk tidak apa-apa jika tidak mengantarkanku sampai ke Bandara, sebab ada yang lebih penting dari ini, yaitu kehadirannya di Sekolah. Apa lagi, sekarang dia menginjak kelas akhir. Sudah ku coba usahakan untuk berbicara dengan pelan agar ia mengerti bahwa yang lebih penting itu masa yang akan datang, tapi tidak berhasil sama sekali. Ia tetap bersikeras dan menentang pintaku terang-terangan agar ikut menyaksikan kepergianku.
Ya, bukan Alyssa namanya jika tidak begitu. Aku tidak bisa apa-apa selain menuruti permintaannya, karena aku tidak ingin menjadi hal penghalang atau membuatnya bersedih.
Maka dari itu, ku penuhi saja apa maunya.

Selama di perjalanan menuju Bandara, aku hanya terdiam dan melamun sembari menatap pemandangan di luar.
Adik kecilku, Riza, berusaha untuk menggoyahkan keheninganku dengan mengajakku berbicara, tapi aku tidak selera sama sekali untuk menanggapinya, jadi aku tidak menghiraukannya.
Sehingga siapapun yang telah menyaksikan tingkahku seperti itu di dalam mobil tersebut, ikut terdiam karena tak mampu mengenyah segala kebisingan di kepala yang membuatku menjadi pribadi layaknya es batu seperti dulu.
Hanya keras dan dingin yang terasa. Sehingga sesuatu yang berusaha untuk menyentuhnya akan merasakan kedinginan, dan yang berusaha meruntuhkannya akan merasakan kesakitan.
Terkesan egois memang, tetapi tidak ada yang bisa ku lakukan lagi selain hanya diam. Aku bukan tidak ingin berbicara, hanya saja aku menyadari bahwa ketika aku berusaha untuk menjawab dalam keadaan pikiran yang tidak benar-benar waras dan sadar, aku akan menyakiti lawan bicaraku melalui perkataan.
Maka dari itu, aku lebih memilih diam ketimbang bersuara.
Dan jika sekali pun ada yang bersikeras untuk membantuku dalam berbicara atas apa yang tengah menggaduhi pikiran dan perasaanku sekarang, aku yakin mereka tidak akan mengerti.
Perasaanku begitu campur aduk.
Rasa tidak percaya akan kenyataan yang pahit dan kesedihan mengiringi setiap lajunya ban mobil ini selama berputar, ada rasa yang mengganjal namun tak mudah untuk di utarakan.
Langit Bandung yang tampak gelam tadinya, perlahan memudar karena sang fajar akan terbit di ufuk timur.
Embun kaca mobil yang beribu kehadirannya, perlahan meliur dan turun memasuki sela-sela kaca jendela dan berubah menjadi genangan air kecil karena matahari sebentar lagi akan berada di puncak tahtanya.
Sementara di sisi lain, saat mentari siap menggantikan tahta bulan, ia masih menyala meskipun tidak seperak ketika malam masih menjadi temannya di sana.
Bulan itu, seolah menggambarkan perasaaan yang tengah ku rasakan saat ini. Yaitu tidak ingin pergi.
Tidak peduli tentang mulut fajar yang siap menelannya sebentar lagi, ia hanya ingin berada di sana meskipun sekejap saja. Sama seperti diriku, jika boleh menawar pada semesta dan waktu, tolong perlambat segala hal yang bergerak, kembalikan segala yang telah hilang.
Namun, kenyataan tidak seperti apa yang kita harapkan. Ia tetap bergulir dan menjatuhkan siapapun tanpa peduli bagaimana jadinya jika itu memengaruhi perasaannya.
Dasar semesta, perancang rencana yang tidak pernah bisa dijawab kapan waktu tepat yang akan datang itu sampai.

***

Aku tiba di Bandara Soekarno Hatta pukul 06.15.
Meskipun masih pagi buta seperti ini, situasi dan keadaan di sini sudah ramai sekali orang-orang lalu lalang membawa barang bawaannya.
Ada yang baru saja kembali dan ada yang akan pergi.
Karena tadi tidak sempat untuk sarapan sebelum pergi ke sini, aku dan yang lain memutuskan untuk mencari makanan pengganjal perut.
Aku menghampiri sebuah kantin di Bandara yang bernuansa seperti cafe ala-ala budaya luar, bermotif cokelat keemasan dan gradasi putih.
Entah mengapa aku jatuh cinta pada kantin itu saat pertama kali melihat dan menghampirinya, ditambah makanan yang mereka sajikan sangatlah lezat dan tetap memiliki cita rasa lokal meskipun bernuansa budaya luar. Mungkin, itu cara marketing mereka. Karena di Bandara ini, tidak hanya pribumi saja yang berpijak, tetapi pendatang juga. Mereka mengenalkan Indonesia dengan cara menarik bagiku, bercover luar dan berisi bagian dalam dimana ia ada.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang