Realita, kejam.

17 8 2
                                    

Aku terbangun di sebuah pagi.
Pagi yang terasa amat berbeda dari sebelumnya. Sebab, yang pertama kali kurasakan ketika mata terbuka adalah ingatan semalam.
Ya, benar ternyata apa kata orang-orang tentang pagi yang paling menyebalkan dalam kehidupan, yaitu pagi ketika patah hati.
Karena, setiap pengawalan seharusnya dimulai dengan berseri atau pun rasa bersemangat, setidaknya tidak berwarna sekali pun, berada di tengah-tengah, tidak ada yang menyebabkan pagi menjadi semenyeramkan ini.

Itu ulah malam, ya, malam penyebab semua ini terjadi.
Mengapa ia hanya diam?
Mengapa ia sama sekali tak berkutik saat menyaksikan seseorang tengah tenggelam atas perasaannya sendiri? Mengapa ia bertingkah seolah tidak peduli saat sesuatu fatal tengah terjadi?
Bukankah ia pernah dan sudah berjanji, bahwasanya akan selalu menjaga siapa pun tanpa pandang bulu ketika menyaksikan sesuatu di tengah-tengah suasana malam?
Ah, ternyata, terkuak kenyataan sebenarnya. Malam tidak lebih dari seekor tikus pengecut pemakan makanan yang tersedia di tempatnya, kemudian ia berusaha berlari dan bersembunyi ketika sudah mendapatkan apa maunya.
Keparat.

Kepalaku masih terasa pening karena menggenggam sesuatu yang begitu berat, ingatan-ingatan tentang kejadian semalam masih berselancar dengan jelas di benakku hingga pagi datang. Padahal, semalam sudah sudah payah sekali aku meredam semuanya. Sudah berusaha hampir setengah mati demi menyimpan perasaan itu meski hanya sejenak saja. Tetapi, realita benar-benar picik. Ia sama sekali tidak pernah peduli pada apa pun yang sudah terjadi. Sekali pun, ya, manusia tersebut menerima takdir paling pahit.

Perlahan, aku meregangkan kaki ke lantai, lalu ku bukalah tirai jendela agar sinar mentari masuk ke dalam. Ku lihat jam, waktu menunjukan pukul 9 pagi. Semalam, aku tidur selepas waktu Shubuh. Kemudian dengan cepatnya, aku kembali terbangun dengan jeda waktu yang benar-benar pelik. Hanya diberi tenggak waktu 4 jam untukku meredam segala perasaan yang terjadi kemarin.
Dan kini, saat terbangun, ingatanku mulai dicumbu rayu kembali oleh sesuatu yang sangat susah payah untuk diredam.
Momen demi momen seolah memekik keras di telingaku, sehingga kepalaku saja yang ditakdirkan hanya untuk berpikir, seketika mampu mendengar juga bisingnya suara itu.
Sejenak, aku duduk di kursi andalanku. Ya, sebuah kursi yang menghadap komputerku. Dengan nuansa tambahan sisi-sisinya berupa beberapa buku yang berantakan karena sudah tidak memiliki tempat. Sebab, rak buku yang kumiliki sangat penuh. Sehingga jalan satu-satunya untuk menempatkan buku yang tersisa adalah menyisikannya di sela-sela komputer.

Tatapanku masih kosong pada benda yang tengah berhadapan denganku, seolah sedang berseteru dan berusaha berpikir tentang apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mengambil langkah selanjutnya. Padahal, kenyataan tidak seperti itu. Aku hanya terdiam membisu tanpa sedikit pun berniat menyentuh benda yang posisi tepat sekali di depan wajahku.
Entahlah, hilang selera sekali rasanya untuk melakukan kegiatan yang produktif kata orang-orang untuk menyita waktu ketika suasana hati dan pikiran tengah berkecamuk atas sesuatu yang menimpanya begitu dalam.
Bahkan, hal yang paling ku sukai sekali pun menjadi hal paling menjijikan untuk disentuh.

Cukup lama sekali aku terdiam dari lamunan panjang yang tak berarti itu bagi setiap orang yang melihat, tiba-tiba itu semua berakhir dikarenakan ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.

*Tok! Tok! Tok!* Suara ketukan pintu berbunyi tiga kali.

"Ray..?"

Bunyi seseorang dibalik pintu.

"Masuk aja, gak dikunci."

Aku berteriak mengizinkan seseorang dibalik pintu itu untuk masuk.

*Klik* Suara gagang pintu.

Ternyata, seseorang yang kudapati dibalik pintu itu adalah Nizar.

Entah mengapa, mungkin telingaku sedang tertutup oleh banyak hal. Sehingga, suara sahabatku saja aku hampir tidak mengenalinya.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang