Lika-liku

22 16 0
                                    

Semenjak hari itu, hari dimana malam mempersembahkan warna yang begitu gelap gulita untuk merundung setiap perasaan-perasaan yang tercipta. Aku merenung sendirian, seperti biasanya. Tidak ingin melibatkan siapapun terkecuali diriku sendiri. Seolah membagi waktu pada diri sendiri untuk berpikir cara apa yang perlu dilakukan agar situasi dan kondisi kembali seperti semula.
Sesekali, aku merelas kering pada hati yang selalu tidak tahu menahu terhadap arah kehidupan.

Aku dan Alyssa semakin kesulitan berkomunikasi sekarang, semenjak hari itu. Padahal sebelumnya, kami sudah cukup jarang dalam saling mengabari dikarenakan sesuatu yang lebih penting menanti di depan mata. Namun sama halnya pula seperti sebelum hari itu terjadi, bukan aku yang sulit, hanya saja ia yang tak ingin memaafkan keadaan yang sudah terjadi.
Unsurnya masih tetap sama, yang membedakan adalah cara bersikap.
Jawabannya selalu tak jauh dari kata "iya", "oke", "terserah" setiap kali ku berusaha kabari.
Bahkan pertengkaran yang sebelumnya jarang sekali kami temui, kini seperti santapan paling nikmat untuk memulai hari.
Hal-hal kecil yang terbiasa dilihat tidak sempurna karena bukan suatu masalah, akhir-akhir ini terkadang menjadi bumbu paling nikmat untuk menuai perasaan masing-masing.
Ia menjadi sangat sensitif dan tidak jarang pula diselimuti overprotective.
Benar-benar paket komplit yang mampu dengan ampuh menghabisi setiap celah-celah pikiran terkecil dan puing-puing perasaan ketika menghadapinya.
Tetapi, aku tetap mengerti, dan aku sangat mengerti. Sikapnya yang seperti itu sudah pasti aku penyebab utamanya.
Mau tidak mau, suka atau tidak, nyaman atau bahkan enggan, aku perlu menerima.
Mengapa? Karena aku penyulut utamanya.

Sebenarnya, jikalau boleh jujur pada kenyataan, aku lelah. Aku sangat kecewa dan marah. Entah terhadap diri sendiri atau pun Alyssa.
Mungkin jika pada diri sendiri, marah dan kecewaku disebabkan oleh hal yang tak mampu menerima dan seringkali berusaha sembunyi terhadap apa yang sudah terjadi.
Dan jika pada Alyssa, kecewaku hanya satu, ia selalu larut pada perasaannya sendiri tanpa memikirkan aku.
Sebab, ia tidak pernah mau belajar membiasakan pada keadaan meskipun sering kali ku tunjukan arah untuk tetap menerima bagaimana pun keadaannya.
Sebenarnya, tidak ada bedanya antara aku dengan Alyssa.
Terkadang kami memang sama-sama enggan menghadapi sesuatu secara langsung yang sedang berada di depan mata.
Tetapi, rasa kecewa dan marah itu benar-benar tidak seberapa jika dirundingkan dengan kepala yang waras. Karena bagiku, hal yang paling besar dalam hidup dan perubahannya hanyalah mencintai dan menerima apapun resikonya.

Di tempat bekerja sekalipun, aku sering melamun dan menatap kosong sebuah objek yang berada tepat di depan mata. Ya, komputer dan kertas-kertas yang berisi hal penting.
Rekan bekerjaku, Nasya, satu-satunya orang yang ku kenal dekat seringkali menggoyahkan keheningan yang tengah ku buat sendiri dengan tingkahnya yang sangat childish. Terkadang, aku terhibur, namun tak jarang pula aku merasa risih sebab tingkah lakunya yang seringkali berlebihan menanggapi suatu hal.

Dan hari ini, ketika seisi kantor tengah sibuk bergelut dengan pekerjaan masing-masing, aku dikejutkan oleh Nasya karena tidak melakukan apa-apa selain menatap kosong sebuah objek yang berada tepat di depan mata.

"Woi!"

Ucapnya seraya menggebrak meja tempat bekerjaku.

"Eh, ya? Kenapa?"

"Cepat rekap itu kerjaan, bukan bengong mulu. Sebentar lagi perlu disubmit buat dokumentasi."

"Iya, santai aja kali. Pasti gua beresin, kok."

"Yaudah, buruan. Cuma beberapa jam lagi dari sekarang. Jangan mentang-mentang perusahaan ini punya Om lu terus jadi seenaknya."

Ketusnya dengan dingin seraya meledekku dengan tertawa menyeringai disertakan nada paling sebal untuk didengar.

"Dih, sakit lu. Ya, enggak gitu, lah."

"Yaudah buruan, keburu ngomel tuh Om lu."

Aku tersenyum seraya kembali melanjutkan pekerjaanku.
Meskipun sebenarnya terasa sarat jika dipaksa berjalan, namun roda kehidupan tetaplah perlu berputar sebagaimana mestinya.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang