Esoknya.
Aku memulai kembali aktivitas seperti biasa, pergi ke sekolah.
Sebenarnya malas untuk berangkat, namun apa boleh buat.
Sisa masalah yang ku tinggalkan belum tertuntaskan.
Dengan berat hati, ku lanjutkan untuk tetap melangkah meskipun pikiran begitu membingungkan.Saat sampai di sekolah aku masih tetap seperti sebelumnya, menjadi pusat perhatian.
Namun sedikit berbeda, jika sebelumnya satu kelas yang memperhatikan, entah kenapa setelah terjadi peristiwa kemarin malah hampir satu sekolah yang memerhatikan.
Mungkin karena aku berhadapan dengan manusia paling populer di sekolah.
Tapi aku tetap tidak peduli, apapun yang terjadi.Begitu sampai di kelas, aku mengambil bangku paling belakang.
Ku lihat jam, pembelajaran akan berlangsung sebentar lagi.
Jadi ku putuskan untuk menyikat sela waktu yang tersisa dengan mendengar musik menggunakan earphone sambil membaca novel.Keparat, belum saja memulai niat, sudah diurungkan begitu saja. Tiba-tiba hadir menjelma di hadapan ku seekor sampah sambil mengulurkan tangan.
"Gue minta maaf, Al."
Cih, semudah itu dia meluruskan jalan sesudah dia sendiri yang menghancurkan. Bajingan.
"Lupain."
Jawab ku datar, sambil tetap melanjutkan niat dengan mengambil novel di dalam tas.
"Lu nggak mau maafin gua?"
Masih dengan rasa tak tahu diri, dia malah melanjutkan dengan pertanyaan lagi.
Aku hanya melirik, dan tetap membulatkan niat untuk menghibur lara dengan keinginan. Tanpa mempedulikan celoteh tidak jelas dari seorang bajingan."Gua ngaku gua salah, Al."
"Nggak seharusnya gua bikin lo terpuruk di situasi tersudut."
"Gua penasaran, jujur."
"Gua pengen dekat sama lo untuk jadi teman."
"Tapi, lo nggak kasih ruang. Jadi gua ngerasa nggak punya celah."
"Lo terlalu menutup diri."
"Gua nggak punya cara lain selain tarik perhatian lo dengan cara kemarin."
"Dari lubuk hati gua, gua minta maaf."Sial.
Pernyataan yang dia lontarkan membuat semua niat ku menjadi sarat, aku terdiam dan tidak tahu harus berkutik apa."Soal pengeroyokan kemarin. Ya, itu gue yang atur."
"Karena gua tahu, gua nggak bisa lawan lo kalo sendirian."
"Maka dari itu, gua bawa anak-anak yang lain buat sepakat ngeroyok lo. Dengan cara menghasut mereka lebih dulu."Ia masih meruntutkan pernyataan yang ternyata belum selesai ingin ia sampaikan.
"Pergi."
Aku menjawab dengan singkat karena benar-benar muak medengar omong kosongnya.
Ditengah kegaduhan pikiran, dia malah membuat api untuk mengobarkan gejolak yang tersimpan rapih pada lara. Resah sekali rasanya, nalar ku begitu semrawut karena masalah yang dihadapi kian berbuntut.
Mendengar jawaban ku seperti itu, dia berdiri dan beranjak pergi sambil berkata.
"Kalau itu mau lo, gua turutin kok."
"Semoga suatu hari nanti, lo bisa berdamai dengan diri lo sendiri."
"Dan menerima keadaan, lalu membiarkan masuk setiap orang."Belum mengenal ku lebih dalam tapi tiba-tiba dia bisa menyimpulkan ku dengan gampang, jahanam.
Aku sangat tidak menerima saat mendengarnya, seorang sampah dengan mudah memberi ku stigma negatif yang sangat sensitif ketika di dengar, tanpa tahu apa yang terjadi di dalamnya."MAKSUD LU APA BRENGSEK!"
Aku menarik dia dan mendaratkan pukulan tepat di wajahnya, lalu ia terjatuh.
Ku tarik kembali kerahnya seraya berkata."Jangan pernah mudah memberi stigma terhadap manusia yang terlihat berbeda."
"Lu nggak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya."
"Jangan menjadi dalang untuk sebuah film yang lu sendiri nggak tahu alur ceritanya."Setelah itu, ramai sekali seisi kelas yang berusaha memisahkan perkelahian kami. Lebih tepatnya, menghentikan ku dalam melakukan aksi.
Tak lama guru datang, mungkin ada perwakilan kelas yang memanggilnya. Lalu mengajak ku untuk mengikuti menuju ruangan BK dan menceritakan apa yang tlah terjadi sebenarnya.
"Kamu masih berniat untuk menimba ilmu di sekolah ini, Al?"
Pertanyaan guru BK pada ku.
"Masih, Pak."
Jawab ku dengan menunduk.
"Lalu mengapa akhir-akhir ini kamu selalu membuat kegaduhan!"
"Dimulai dari masalah kemarin, saat kamu masuk terlambat. Sudah jelas salah masih saja mengelak."
"Ditambah, setelah melakukan kesalahan kamu malah menentang teman sekelas mu lalu meledek guru mu sendiri dengan datar."
"Dan juga memukul teman sekelas mu yang hendak meminta maaf."
"Apakah pantas seorang murid bersikap seperti itu?"Kau tahu rasanya sedang lahap makan tiba-tiba ada yang membuat hilang selera? Ya, kurang lebih seperti itu perasaan ku saat di serang pernyataan seperti ini.
Ingin melanjutkan, sudah tidak berasa.
Ingin menyudahi, tapi hasrat tidak bisa."Tidak pak, saya sangat mengakui salah."
"Apapun keputusan sekolah, saya akan terima."Buntu sekali, yang terbesit di pikiran ku hanya ini jawaban yang bisa menembus pernyataan.
"Baiklah."
"Saya sedikit mengerti posisi kamu, Al."
"Saya tahu kamu murid yang baik nan sopan."
"Mungkin perasaan mu sedang tidak baik kemarin sehingga melakukan hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya."
"Saya memberikan kesempatan kepada mu, Al."
"Namun tetap, pihak sekolah akan mengscore kamu selama satu minggu dan memanggil orang tua mu untuk datang kesini."
"Sekian, kamu boleh kembali ke kelas."Aku tidak mengerti lagi harus membalas apa selain ya sudah.
"Baik pak, terima kasih sekali atas apresiasinya."
"Saya kembali ke kelas"Ia mengangguk, lalu memberi ku jalan.
Tapi, ada yang mengganjal.
Bukankah tujuan utama aku dipanggil ruang BK itu masalah perkelahian?
Sebelum melangkah, ku putuskan untuk bertanya daripada dihabiskan rasa penasaran."Maaf mengganggu pak, hanya itu saja yang ingin Bapak sampaikan pada saya?"
"Soal perkelahian dengan Rian, bagaimana?"Dia tersenyum, tak jelas maksudnya apa lalu menjawab.
"Saya kira kamu sudah paham, ternyata belum."
"Singkatnya, kalian berdua sama-sama lelaki, bukan?"
"Selesaikan masalah itu bersama, dan cari jalan keluarnya."Tidak di duga, dan jauh sekali dari prasangka.
Sungguh, dia memberikan pernyataan yang membuat pikiran ku sedikit terbuka.Aku mengangguk dan tersenyum, lalu pamit untuk melanjutkan perjalanan yang sempat terhambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...