Aku terbangun pada waktu dini hari.
Kali ini, bukan karena sebuah paksaan, melainkan dari alam bawah sadar sendiri.
Ku lihat jam menunjukan pukul 3 pagi.
Langit masih gelap, bulan sabit pun masih terbentang diatas sana. Sinarnya semakin lama bukan semakin remang, tetapi semakin benderang.
Aku tidak mengerti alasan apa yang membuat ia semakin kuat saat tidak banyak manusia yang memerhatikannya.
Aku langsung beranjak dari kasur untuk membersihkan diri dan bersiap berserah di sepertiga malam bersama yang mempunyai sumber cinta.Setelah selesai mengadu apapun yang menjadi bulan-bulanan dari perasaan ku kepada pemilik jagat raya ini, aku melirik Wisnu yang masih dalam buaian mimpi. Sebenarnya, aku tidak kuasa untuk menghancurkan mimpinya, namun apa boleh buat, waktu sudah semakin mendesak.
Jika tidak, semua akan terlambat.
Dengan pelan, aku menepuk bahunya seraya agar gusaran alam bawah sadarnya tidak hancur begitu saja.
Akhirnya, setelah beberapa kali aku mencoba, dia terbangun.
Menatapku dengan mata yang begitu redup karena mungkin masih ingin melanjutkan perjalanan mimpinya. Tapi, ia tetap bangun dengan paksa. Karena sudah kuberi peringatan bahwa tenggak waktu tidak akan berlangsung lama.
Lalu dia beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan segera bersiap.
Aku pun melakukan hal yang sama, menyiapkan dan mengemasi barang-barang ku untuk kembali dibawa pulang.
Ingatan ku masih sama seperti kemarin malam, masih memutar memori kebahagiaan karena apa yang ku pertanyakan, membuahi sebuah jawaban yang benar-benar memuaskan.Selesai dari Mesjid.
Aku dan Wisnu sudah dalam keadaan siap, tinggal menunggu pemberitahuan dari panitia kapan pemberangkatan pulang akan dimulai. Sembari menunggu, aku menyikat waktu dengan membakar beberapa batang rokok dan membeli kopi yang terdapat di kantin Hotel ini. Begitu pula sama halnya dengan Wisnu.
Lalu kami kembali ke atas dan diam diatas balkon seperti sebelumnya.
Arah yang kami tatap arah yang sama, upuk timur yang baru saja memunculkan matahari yang malu-malu merangkak ke atas.
Langit masih hangat sekali menghamparkan warna biru mudanya, lalu untuk menambah nuansa hiasan, semesta menyimpan burung-burung dara diatas sana.
Debur ombak kali ini cukup tenang, tidak terlalu menggelegar seperti saat menjelang terbenamnya matahari di barat. Aroma garam asin laut pun semakin menyengat jika pagi meskipun dari kejauhan.
Benar-benar membuat siapapun yang merasakannya, pasti mendapat ketenangan.Cukup memakan waktu yang tidak sebentar, kemudian ada yang datang menghampiri, seseorang yang diutus oleh panitia untuk mengabari setiap anggota yang mengikuti acara ini bahwa perjalanan pulang akan dimulai sebentar lagi.
Tanpa mengulur waktu, aku langsung bergegas kembali ke kamar dengan Wisnu untuk mengambil barang bawaan dan bersiap pergi menuju Bus yang ada di parkiran.
Setelah menaiki Bus, orang-orang sudah marak berkumpul. Namun, ada yang janggal, aku tidak melihat Mirzha dan Nizar disana.
Entah ada apa dengan mereka, tidak seperti biasanya. Mungkin, terlambat.
Ah, sudahlah. Untuk apa aku terus mempertanyakan jawaban yang memang tidak ada?Waktu pemberangkatan berjadwal pukul 08:30, dan sekarang tepat jam 08:00. Aku terbesit satu hal untuk menyikat waktu yang tersisa, ya, mengabari Alyssa.
"Nu, ikut jalan sebentar. Gua mau keluar buat ngabarin Alyssa."
Aku menepuk pundak Wisnu dan memberitahu apa tujuanku.
Dia hanya menoleh, lalu mengangguk. Seraya memberi ku sebuah jalan. Dia tak memberi ku jawaban lewat lisan sebab sedang sibuk sendiri mengurus earphone yang hendak dipasang di kedua telinganya.
Aku meminta izin waktu sebentar pada panitia sebelum keberangkatan dimulai. Baru saja menuruni anak tangga dengan menunduk sambil melihat keadaan bawah, saat aku menyeret pandangan untuk melanjutkan langkah. Tepat sekali di hadapanku sosok yang tidak asing sekali saat dilihat.
Ya, Mirzha dan Nizar.
Kami bertiga sempat saling tatap, seraya sadar bahwa keberadaan satu sama lain itu ada. Lalu tak lama respon mereka seperti biasa, memalingkan pandangan.
Sungguh, aku tidak peduli. Sekali pun mereka tidak melirik ku sama sekali. Lagipula aku enggan bertemu seseorang yang tidak pernah menganggap penting sebuah kehadiran.
Aku berlalu melewati mereka berdua dengan dingin, dengan pandangan yang ke depan tanpa menghiraukan sama sekali ke dua sisi berlawanan.
Aku tetap bulat pada niat dan tekad, meskipun ada hal yang membuat perasaan ku sedikit tercekat.Telepon tersambung.
"Assalammualaikum, Alyssa. Selamat pagi."
"Wa'alaikumsalam, Ray. Selamat pagi kembali."
Jawabnya dari seberang, nadanya pagi ini sangat indah didengar.
"Sudah siap semua, Sa?"
"Sudah."
"Syukurlah. Oh, iya. Ngomong-ngomong, kamu sudah sarapan sebelum naik ke Bus?"
"Sudah juga, kamu sendiri, gimana?"
"Belum, sih. Tidak sempat. Aku terlalu menikmati pagi tadi dengan bersantai sembari memikirkanmu."
"Masih pagi lho, ya.. Nggak usah gombal-gombalan dulu."
Suaranya terdengar seperti tersipu malu.
"Lho? Nggak ada yang gombal, tahu. Aku serius."
Aku memberikan sedikit pernyataan yang bisa membuat dia semakin salah tingkah ketika mendengarkan.
"Udah, ah. Aku tutup nih, ya. Teleponnya."
Kata Alyssa, menyembunyikan malu dengan mengancamku.
"Ya, sudah. Tidak apa. Matikan saja teleponnya."
Dengan nada yang datar aku menumpas pengancamannya.
"IH! Kok serius, sih. Aku bercanda, tahu."
Seperti biasa, bukan? Dia memang senang mengubah-ngubah perasaannya sendiri. Itu yang membuat ku semakin nyaman dan tertarik.
"Yang bilang aku serius, siapa? Tidak akan mungkin terjadi sebuah kepergian tanpa izin. Apalagi, perihal kamu. Aku sudah pasti tidak mau."
"Ah, Ray. Berhenti membuatku tersenyum tidak jelas, dong.."
"Oh, jadi, kamu ingin aku berhenti?"
"Bukan gitu, ih. Maksudku.. Ah, tahu, deh."
Nadanya meringis sebal, ia tidak mempunyai jawaban yang sesuai untuk menumpas pertanyaanku.
"Ya, sudah. Maka dari itu, nikmati saja. Kalau kata pepatah, ini sedang manis-manisnya."
Terdengar dari seberang sebuah gelakan tawa yang cukup lepas karena sebuah pernyataan yang aku lampirkan. Ya, aku berhasil membuat Alyssa merenyah rasa senangnya.
"Aku tutup teleponnya, ya? Nanti akan ku kabari kembali ketika sudah sampai dirumah."
"Iya, Ray."
Telepon bersambung.
Aku melihat jam yang ada di lengan kiri ku, ternyata waktu sudah menunjukan pukul 08:20.
Sepuluh menit lagi, aku perlu segera sampai di Bus sebelum terlambat. Kalau tidak, bisa kacau semuanya.Sepanjang perjalanan menuju ke Bus, bahkan sampai didalam sekali pun. Bibir ku tidak berhenti merekah, ia terus tersenyum karena mengingat sesuatu yang sangat menyenangkan. Ya, Alyssa tertawa.
Wisnu memerhatikan ku dengan tatapan yang tajam seraya mengangkat halis sebelah dan mengerutkan dahi. Pikirnya, mungkin ada yang tidak beres. Padahal, bukan ada yang tidak beres. Melainkan sedang menikmati perasaan senang yang mencumbu."Ya, gua tahu lu seneng. Tapi, santai aja kali. Nggak usah pake senyam-senyum terus kayak orang gila gitu."
Celetuk Wisnu, ketika melihatku yang terus-menerus tersenyum.
"Ah, elah. Lu nggak tahu, sih. Rasanya jatuh cinta. Apalagi, cinta yang lu punya, terbalas."
Aku meledek Wisnu lalu tertawa.
"Awas, jangan terlalu senang. Lu tahu, kan? Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik. Ya, senang boleh. Nggak ada yang larang juga. Tapi, harus tetap dalam takaran sesuai porsi masing-masing."
Wisnu memberondong pernyataan padaku, seraya mengingatkan bahwasanya kita tetap perlu dalam keadaan ditengah. Tidak lebih, atau pun kekurangan.
"Iya, Nu, iya. Bawel bener, deh.."
Untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang, aku membuat sedikit plesetan pada penerimaan.
Wisnu hanya melirik ku dan menggelengkan kepala. Lalu ia melanjutkan apa yang tadi sedang ia lakukan, yaitu mendengarkan musik menggunakan earphone yang tak pernah lepas dari sepasang telinganya itu.
Lalu, Bus mulai berjalan.
Keadaan seperti biasa, memulai perjalanan sambil diiringi do'a-do'a agar selamat sampai pada tujuan dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...