Waktu terus bergulir sebagaimana mestinya, ia tetap berjalan tanpa peduli pada poros yang tidak menentu kapan geraknya akan berhenti.
Apakah mungkin esok? Ataukah satu jam lagi? Ah, semua akan sulit dimengerti jika dua arah dipaksa melaju bersama tanpa sebuah tujuan. Sekali pun ada, entah sampai atau tidak sama sekali. Atau bahkan, hancur di tengah jalan karena tidak pernah mau belajar dan mengerti akan hal-hal yang pernah terjadi.Sudah satu bulan aku diam sendiri di sebuah indekos yang ruangnya untuk bergerak banyak saja sulit sekali, tidak seperti kamar ku yang sebelumnya. Tapi meskipun begitu, setidaknya perlahan aku mulai merasakan kenyamanan karena terbiasa. Ya, mau bagaimana lagi jika tidak dipaksa bisa, bukan?
Tidak banyak komentar yang Alyssa lampirkan setelah mengetahui aku memilih sejenak sendiri di sini. Mungkin setuju, mungkin bisa saja ia tidak mau menjadikan sesuatu yang bukan hak miliknya untuk diketahui sepenuhnya menjadi satu tanggung jawab. Tapi, ia berpesan satu hal setelah mengetahui aku di sini.Itu pilihanmu, Ray, untuk mengambil jalan yang kau mau. Aku atau pun Ibukmu sebenarnya tidak memiliki hak atas itu. Tapi benar apa kata sahabatmu, jangan pernah lupa arah pulang. Ada yang menanti kembalimu dari kepergian yang kau putuskan itu.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa jalan pulang, jika di perjalanan yang ku kira akan terarung sendirian ternyata masih ada yang peduli dan menemani di saat-saat menyakitkan seperti ini.
***
Aku sudah mendapatkan pekerjaan untuk mengisi hari-hariku dalam menyambung hidup sendirian, sebenarnya jika dibandingkan dengan penghasilan yang ku dapatkan ketika masih meminta jajan pada orang tua, ini tidak seberapa, namun tetap cukup bagiku, setidaknya untuk diri sendiri.
Aku bekerja di sebuah perusahaan yang baru sekali dijalankan sekitar 5 bulan lalu, perusahaan yang memproduksi sangkar burung.
Aku bisa bekerja di sana karena informasi yang di dapat dari salah satu temanku yang sekarang sudah ku anggap layaknya Mirzha dan Nizar, ya, sahabat, yaitu Wisnu.
Suatu hari ketika aku suntuk karena hanya berdiam diri di indekos dan tidak melakukan apa-apa, mencoba melamar pekerjaan tapi sulit sekali karena tidak punya pengalaman apa-apa. Tapi akhirnya Wisnu memberi tahu ku perihal ini, sebuah lowongan pekerjaan untuk menyita semua kebosanan yang menyelimuti selama aku tinggal sendiri di kosan.
Perusahaan ini milik paman Wisnu, jadi tidak memerlukan syarat-syarat tertentu untuk masuk. Melalui kata-kata yang meyakinkan saja itu sudah lebih dari cukup. Bisa dibilang, aku masuk lewat jalur belakang.
Tapi meskipun begitu, aku tetap tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Aku tetap bekerja dengan giat layaknya pekerja yang dipekerjakan saja, tidak melihat ini siapa dan apa.
Aku di tempatkan di bagian gudang perusahaan ini menjadi sebagai stafnya. Tugasku mengecek stok produk yang masuk dan keluar, dan mempacking barang. Sesekali membantu bagaimana cara membuat sangkar tersebut.***
Sudah masuk bulan Juni, bulan yang Alyssa tunggu-tunggu kedatangannya. Karena, ya, ini memang miliknya. Di bulan ini, semua tercipta. Termasuk kebahagiaan yang menyelimutiku sekarang, karena kalau bukan maka memang tidak pernah ada.
Dan sebentar lagi, beberapa minggu yang akan datang, Alyssa akan memasuki usia barunya. Harapan dan do'a baru akan segera terlangitkan di hari di mana ia lahir.
Sepulang kerja, aku berniat untuk mampir ke rumahnya. Menyempatkan sela waktu yang ada karena memang ketika aku sudah mulai bekerja kami mulai kesulitan untuk bertemu. Begitu pun dengan Alyssa, sekarang ia sudah memasuki akhir dari perjalanannya dalam menempuh sekolah, jadi ia sering menyita waktu dengan belajar sungguh-sungguh karena memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah itu. Aku senang mendengar hal itu, sama sekali tidak terganggu. Kami sama-sama belajar dan saling mengerti pada keadaan masing-masing, dan jika pada ia, aku tak pernah ragu sedikit pun."Assalammualaikum."
Aku mengetuk pintu.
"Wa'alaikumsalam, hai!"
Yang membuka pintu adalah Alyssa, pucuk yang ku nanti langsung ada tanpa diminta. Ia langsung meraih ragaku karena rasa rindu yang mungkin sudah menggebu karena telah lama di diamkan, aku langsung menerima pelukan itu. Begitu tenang, begitu nyaman. Hal yang tak pernah ku rasakan dan ku temukan, semua itu ada pada Alyssa.
"Ibuk ada?"
Aku melepaskan pelukan perlahan untuk bertanya bagaimana keadaan, karena ada sesuatu yang ingin ku sampaikan.
"Nggak ada. Kamu lupa, ya? Ini hari biasa, lho, Bunda mana mungkin ada di sini."
"Astaghfirullah, iya juga. Maaf, ya, aku lupa."
Aku menepuk jidat untuk mengakui bahwa aku memang lupa dan melakukan kesalahan.
"Gak pa-pa."
"Cari makan, yuk? Aku lapar. Pengin makan pecel ayam sama nasi uduk di tempat favorit kita."
"Yuk. Kebetulan aku pun belum makan, karena tadi terlalu sibuk bergelut dengan mata pelajaran yang menghantui setiap harinya. Tapi semuanya sudah selesai, kok, kedatanganmu tepat sekali."
"Meskipun sibuk, kamu perlu tetap memprioritaskan kesehatanmu, ya. Gak boleh sampai lupa untuk hal paling utama itu. Gih, siap-siap, aku tunggu di sini."
Aku berkata demikian seraya mengusap rambutnya yang hitam tebal dan wangi itu.
Ia tersenyum dan berlalu dihadapanku setelah aku menyuruhnya segera bersiap.Lalu, kami pergi ke tempat yang sudah ditujukan arahnya. Warung pecel ayam dan nasi uduk yang menjadi tempat favorit kami berdua karena memiliki cita rasa yang unik ketika sampai dan mendarat di lidah.
Nasi uduk yang memiliki resep khas dari pemiliknya, karena katanya itu sudah turun-temurun dari keluarga besarnya, ditambah daun kemangi dan ayam goreng bumbu kuning.
Jadi benar-benar makanan warisan yang tercipta sempurna."Sudah ada bayangan akan melanjutkan ke Universitas mana?"
Tanyaku setelah kami selesai menghabiskan makanan.
"Sudah."
"Ke mana?"
"UNPAD saja, biar tetap di sini. Lagipula, tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah."
"Mau ambil apa?"
"Psikologi."
Aku tersenyum ketika mendapati jawabannya yang sangat yakin itu tanpa ragu, ia menegaskan tanpa diminta paksa untuk terang-terangan. Aku selalu senang ketika berhadapan dengan seseorang yang yakin akan dirinya sendiri, terlebih dengan Alyssa, perempuan yang saat ini menjabat sebagai kekasihku.
Tidak terasa, ya, Sa. Sudah satu tahun kita menjalankan hubungan ini dengan baik. Meskipun dalam taraf masih sebentar aku mengenalmu, namun rasanya sudah seperti bertahun-tahun. Kamu selalu meyakinkanku, Sa.
Selalu saja menjadi tempat pengasah ketika pedangku mulai tumpul. Rasanya, seperti baru kemarin aku mengenalmu, perempuan yang memiliki cover jutek setengah mati jika berhadapan dengan sesuatu yang tidak kenal dan bukan haknya. Sebenarnya, kamu itu tidak beda jauh dari aku. Maka dari itu aku bisa sangat mencintaimu. Karena, banyak kesamaan dari kita. Terlebih dalam menyampaikan hal-hal yang mewakili perasaan.
Sa, kalau boleh menawar sama Tuhan, aku ingin dunia ini segera usai. Aku ingin abadi denganmu di kehidupan selanjutnya, tidak seperti di sini. Aku tidak ingin berpisah denganmu, Sa. Pokoknya, kalau semisal nanti kamu pergi terlebih dahulu, aku pasti segera menyusul dengan melangitkan do'a-do'a yang bisa langsung Tuhan kabulkan agar aku sesegera mungkin tiada. Tapi kalau ternyata aku lebih dulu, kau jangan memiliki harapan juga untuk segera pergi, ya. Soalnya, di dunia ini masih banyak yang membutuhkanmu.
Termasuk, buah yang jatuh dari pohon itu. Ia perlu bimbinganmu, pastinya. Aku hanya pemeran pelengkap saja.***
Setelah selesai rehat sebentar dari makanan yang tlah kami santap dan berbincang, kami memutuskan untuk pulang. Keadaan sudah tidak seperti dulu, dimana kami memiliki waktu luang banyak untuk lebih lama dalam bersama. Sekarang, aku mempunyai kegiatan yang perlu ku lanjutkan, begitu pun ia. Kami perlu sama-sama mempersiapkan untuk sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...