Semesta itu baik, ya?

25 24 0
                                    

Pagi ini, aku terbangun. Oleh sesuatu yang sama sekali tidak terpintas dalam pikiranku setelah tragedi menyedihkan kemarin. Ya, Mama.
Beliau menghadap padaku, dengan posisi duduk dipinggir kasur.
Penglihatanku masih samar, setengah jiwaku yang lain tengah asyik bermain dalam mimpi.
Ia belum kembali.

"Ray?"

Mama menepuk tangan ku dengan perlahan berkali-kali seraya memanggilku dengan nada terendah agar aku tidak terkejut ketika bangun.

"Udah lewat Shubuh, bangun, yuk."

Aku menjawab dengan terengah, memberi kata 'iya' melalui sebuah isyarat.

"Coba bangun dulu sebentar, Mama mau bicara."

Dengan penuh keterpaksaan, aku mengabulkan pintanya Mama.
Aku berdiri dengan otot tubuh yang masih lunglai, lalu menggosok-gosok mata dengan tangan untuk menyempurnakan penglihatan.
Setelah semua sudah terlihat jelas, kami saling menatap.
Aku mengerutkan dahi seraya bertanya dalam isyarat, ada apa?

Kemudian, Mama memegang kedua bahuku. Tatapannya menyorot padaku begitu dalam, seolah seperti ada yang ingin disampaikan. Entah tentang apa. Mungkin, perasaannya.

"Mama.. Minta maaf, ya, Ray."

Mama tertunduk. Ia menggigit ujung bibir. Nadanya sama seperti wanita yang ku cintai, Alyssa. Begitu sendu, sangat sendu.
Aku tidak tega, sungguh. Seharusnya aku yang bersimpuh, bukan seperti ini.

"Mama.. Nggak pa-pa, kok. Nggak ada yang salah dari Mama. Jadi, Mama nggak perlu minta maaf, ya."

Aku menyentuh pipi Mama, berusaha menenangkan keresahan yang menjadi gundah gulana dalam pikirannya. Mama tidak salah untuk hal ini. Dia hanya ingin yang terbaik.
Seperti apa kata Papa, memang begitu adanya. Terkadang seringkali manusia menyampaikan sesuatu yang menurutnya benar namun caranya memang kurang tepat. Kita yang perlu belajar untuk mengerti. Takdir seorang laki-laki itu menjadi teduh untuk sesuatu yang membuat panas.

Setelah mendengarku berkata seperti itu, pandangannya terseret. Menatapku. Tatapannya sangat sayu.
Lalu, beliau memelukku seraya berkata.

"Maaf, Ray. Mama terlalu berlebihan setiap kali hal yang bersangkutan denganmu. Mama baru menyadari setelah apa yang Papa bicarakan kemarin. Mama terlalu keras dan selalu egois. Tapi, kamu perlu tahu dan percaya, Ray, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu."

Tangisnya pecah. Nadanya benar-benar seperti terisak.

"Tidak apa-apa, Ma. Ray mengerti, kok. Ray sekalipun salah. Terkadang, Ray nggak pernah mau belajar dari yang sudah. Ray minta maaf, ya."

Aku mendekapnya dengan erat untuk menenangkan badai yang mengguncang hatinya.

"Ma.. Ray takut kesiangan, mana belum Shubuh lagi."

Aku memberi tanda pada Mama untuk segera melepaskan pelukannya. Sebab, waktu mendesak. Matahari sudah mulai menjulang di upuk timur.
Mama melepaskan pelukannya seraya berkata.

"Iya, sarapan dulu, ya, sebelum berangkat. Mama udah siapin nasi goreng bumbu kuning kesukaanmu, ditambah telur dadar."

Aku tersenyum, lalu segera beranjak dari kasur.

Setelah selesai mandi, aku menghampiri Ruang Makan. Disana, sudah ada Papa, Mama, Kakak, juga Riza.
Formasi sudah komplet setelah aku bergabung.
Sarapan dimulai, dipimpin do'a oleh Papa. Lalu, menyantap apa yang sudah dihidangkan.
Sedari kecil, Papa dan Mama mengajarkan kepada Anak-anaknya untuk tidak berbicara satu patah kata pun ketika hendak menghabiskan makanan. Katanya, itu tidak menghargai rezeki dari Tuhan.
Hanya kemarin saja, aku melanggar itu. Entah kenapa, semuanya seperti membutuhkan jawaban yang cepat. Padahal aku tahu, itu waktu yang sangat tidak tepat.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang