Resah

28 24 0
                                    

Aku tidak keluar kamar seharian.
Rasa lapar menghujam berkali-kali, tetapi tetap tertahan. Tidak sebanding dengan kejadian tadi pagi jika diingat kembali.
Riza beberapa kali mengetuk pintu kamar ku untuk menawarkan makan, ia tahu bahwa aku belum sedikitpun menyentuh sesuatu yang bisa membuatku lebih kuat dan bertahan. Entahlah, aku merasa lelah. Seolah semua kenyataan yang salah, aku penyebabnya. Apalagi, jika perihal Mama. Aku selalu..

Waktu menunjukan pukul sebelas malam, ada yang mengetuk pintu kamar ku. Terdengar dari suaranya, itu Papa.
Aku mempersilakan beliau masuk ke dalam.

"Ray?"

Pintu berderit pelan, perlahan Papa mendekatiku dan duduk di bibir tempat tidur. Aku bangun dari posisi.
Kami saling menatap.

"Kata Riza, kamu belum makan sedari pagi, ya?"

Papa bertanya soal keadaanku. Aku menjawab hanya dengan mengangguk.

"Papa minta maaf, ya. Soal kejadian tadi pagi. Karena Papa, kamu jadi enggan makan begini sampai waktu sebentar lagi berganti hari."

Papa semakin mendekatiku yang duduk bersandar dipunggung kasur, beliau mengusap kepala ku perlahan seperti semasa kecil.
Dulu, bila aku pulang bermain, lalu beliau tidak sengaja mendapatiku yang sedang menangis karena terluka di pojokan. Beliau selalu mengatakan;
Menangislah, Ray. Tidak usah ditahan. Keluarkan semuanya hingga perasaanmu lega. Laki-laki boleh menangis, tidak apa. Mengungkapkan sakit lewat air mata bukan berarti ia lemah. Apalagi, karena yang dilihat perihal siapa yang sedang menangis. Bukan tentang itu. Baik laki-laki maupun perempuan itu sama, sama-sama ciptaan yang maha kuasa. Mungkin, memang seperti itu keadaan yang seharusnya. Seringkali, manusia tidak ingin menangis. Keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal itu.
Namun tetap ingat satu hal, sehabis ini. Jangan lupa, usap semuanya. Bersihkan hingga merata, hingga tidak ada bekas yang tersisa. Bangun lagi, kejar kembali apa yang sudah meninggalkanmu hari ini.

Sungguh, tidak sekali.
Papa mengucapkan hal itu demi meredakan tangisku saat belia.
Memoriku merekam jelas setiap bait kata demi kata ketika Papa berbicara, sebab, bukan hal yang satu kali terjadi beliau menyampaikan pesan tersebut.
Sehingga, entah karena habis masanya, kalimat itu tidak pernah keluar lagi ketika beliau menyaksikanku bertumbuh besar.
Saat aku sudah menginjak usia remaja, dimana tangisan benar-benar tidak berarti keberadaannya.
Dulu waktu kecil, aku hanya tertohok menatap Papa berbicara seperti itu. Tidak mengerti arah tujuan pembicaraannya kemana. Namun entah kenapa mendengarnya saja membuat kegaduhan yang ramai sekali melewati pikiran tiba-tiba lenyap begitu saja, tidak tersisa. Benar-benar langsung mendadak hening seketika.
Tapi pada akhirnya, seiring berjalannya waktu, aku paham makna dibalik itu semua.

Aku merasakan tenang, pikiranku yang berantakan tadinya redup seketika oleh belaian seorang manusia yang memang mempunyai takdir hidup menjadi tulang punggung.

"Pa.."

Aku melirih sendu, dan menatapnya dengan dalam. Beliau hanya mengerutkan dahi seraya memberi isyarat.. Kenapa?

"Mmm.. Apa aku boleh peluk Papa.. Lagi? Kayak waktu kecil."

Aku terbata-bata dalam mengeja kata demi kata, entah kenapa rasanya malu dan berat. Namun semua harus terungkapkan.

"Kamu, kan, anak Papa, Ray.. Yang nggak ngebolehin, siapa?"

Kepalaku yang menunduk lemas langsung terseret seketika saat mendengar Papa mengucapkan hal itu. Papa seolah memberi tanda yaitu dengan melepaskan tangannya, untuk segera diraih. Tanpa berpikir lama aku langsung memeluknya.
Aku merasakan damai yang tidak biasa. Ini sudah jarang terjadi dikehidupan ku saat menginjak Remaja, bahkan tidak pernah. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku memeluk Papa.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang