15

2.5K 393 46
                                        

"Abang?"

"Apa, yayah?"

"Mau lanjut di mana?"

Gerakan sendok Rion terhenti. Ia menatap Sam dengan bingung. "Gak tau, abang belum pengen jadi apa-apa."

"Ada niat nerusin yayah atau enggak?"

Rion menggeleng. "Gak tau juga."

Sam berdecak. "Anak siapa sih kamu, ditanyain gak tau terus."

"Jadi, selama ini abang bukan anak yayah sama buna? Abang anak pungut?"

"Iya, pungut di selokan depan," jawab Letta tanpa dosa.

Mata Rion memicing. "Diem kamu! Abang nanyanya sama yayah buna kenapa kamu yang jawab?"

"Letta mewakili yayah sama buna."

Rion mendesah kesal. Ia kembali menatap Sam, membiarkan sarapan paginya dahulu. "Yayah, emang abang boleh kalau gak nerusin yayah?"

"Yayah sama buna gak bakalan maksa kamu mau jadi apa. Selagi cita-cita kamu berguna ya bakalan di dukung. Lagi pula perusahaan keluarga masih ada si kembar anak om kamu kalau kamu gak mau ngurus."

Rion menunduk, pandangannya untuk masa depannya belum ada. Ia yang terlalu santai atau bagaimana ia pun tak tau.

"Sarapan dulu, nanti aja mikirinnya. Yayah gak enak liatnya kalau ada yang masih sarapan."

Rion mengangguk, ia kembali melanjutkan sarapannya. Rion meletakkan sendok dan garpunya di atas piring menandakan pemuda itu sudah selesai. Ia menatap Sam yang tengah menyeruput kopi. "Yayah beneran gak papa kalau abang gak nerusin perusahaan?"

"Kamu mau yayah paksa?"

Rion menggeleng. "Gak gitu, tapi kebanyakan kawan abang kalau yang punya perusahaan pasti orang tuanya suruh nerusin perusahaan."

Sam mengangguk. "Sebenarnya pasti ada keinginan yayah untuk gitu, kamu nerusin perusahaan keluarga supaya tetap berjalan. Tapi, yayah paham, semua keinginan orang tua gak bisa di bebankan ke anak. Apalagi ada orang tua yang bakalan maksa, ngancam anaknya supaya bisa jadi yang ia inginkan, itu gak baik untuk anak. Jadi, yayah sama buna sepakat, gak bakalan maksain keinginan sama anak. Mau kamu atau Letta gak bakalan yayah atau buna yang nentuin cita-cita kalian berdua, kalian bebas milih sendiri yang pasti harus ada konsep yang jelas ke depannya."

"Letta mau jadi dokter kayak kak Belbel!"

Sam mengangguk, ia menatap ayah perempuannya itu. "Bagus kalau kamu udah ada keinginan untuk itu."

Letta tersenyum, ia berdiri dan mengecup pipi Sam dan Rion. "Letta ke atas dulu, mau ngerjain PR biar nanti siang bisa pergi sama temen. Bilang sama buna, ya."

"Siap, cantiknya yayah." Sam kembali menatap putranya. "Jadi, pikirin aja dulu mateng-mateng apa yang mau kamu ambil. Waktu kamu di kelas 12 masih ada satu semester lagi, sebelum ujian sekolah harus bisa nentuin biar bisa lihat mau kuliah di mana. Abang mau kuliah di luar?"

Mata Rion mengerjap. "Luar apa? Kota atau negeri?"

"Negeri."

"Kalau jurusannya abang bagusnya di sana ya mau-mau aja, tapi abang gak siap jauh sama yayah, buna, Letta, Belbel."

Sam melempar anggur ke kepala Rion. "Cowok loh masa gak siap? Jaman udah canggih, yayah sama buna aja dulu nyatanya bisa sampe akhirnya nikah."

Rion memakan anggur itu. "Nanti deh, abang tanya saran sama Belbel dulu. Buna ke rumah sakit?"

Sam mengangguk. "Tapi, nanti habis jam makan siang."

"Kan minggu, emang ada pasien?"

"Katanya buna mu ada, ya udah."

The Story of BERI [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang