Jika disuruh memilih, maka barangkali yang dipilih oleh Boruto adalah lebih baik menepati janji daripada harus menanggung rasa sesal akibat mengecewakan seseorang yang diberi janji.
Dan sekarang, ia menepati janjinya. Janji pada satu orang, namun melupakan janji lain yang lebih dulu terjalin. Ia pun tak sadar perihal tersebut.
Kini, anak laki-laki bersurai kuning yang kira-kira berusia tiga belas tahun itu tengah berjalan di atas trotoar yang ramai orang-orang berlalu-lalang. Ia tidak sendiri, di sampingnya ada seorang gadis yang baru saja ia temani dari toko pakaian anak-anak kecil.
"Boruto-kun," Sumire menghentikan langkah Boruto yang tiba-tiba berjalan dengan cepat tanpa sadar.
"Ada apa? Apa kau lelah?"
Sumire menggeleng. "Tidak. Hanya saja, kenapa kau jadi cepat sekali. Aku kesulitan mengejarmu dengan barang-barang ini." katanya sambil sedikit mengangkat dua buah kantong kertas berisi hasil belanjaan barusan.
"Tadi sudah kubilang, biar aku saja yang membawa keduanya," Boruto lantas mengambil salah satu kantong yang dibawa Sumire di sebalah kiri. Ia lalu berjalan lebih dulu ketika Sumire masih membenarkan letak bawaannya.
"Rumah hampir sampai, sebaiknya kau mampir dulu, ya."
"Memangnya rumah Boruto-kun di mana?"
"Di ujung jalan sana, kita belok ke kanan dan ikuti jalan saja. Kita akan sampai."
"Ah, begitu ya... Aku mengenal jalan itu. Aku sering ke sana karena rumah teman kecilku ada di ujung jalan yang kau katakan."
"Benarkah?"
Sumire mengangguk lembut seraya tersenyum.
Keduanya lalu berjalan bersama menuju rumah Uzumaki. Sekarang pukul lima lewat empat puluh menit. Langit sudah mulai gelap dan Boruto khawatir jika membiarkan Sumire pulang ke panti sendirian dengan membawa barang sebanyak itu. Ia sebenarnya ingin mengantar, namun tak ayal dirinya pun lelah. Berakhirlah mereka mampir sebentar ke rumah yang Boruto tinggali sekarang ini. Nanti, setelah beristirahat mungkin saja ia akan meminta Naruto mengantar Sumire pulang ke panti.
.
.
."Aku pulang!"
Boruto berteriak kencang setelah menekan bel rumah. Ia tak mendapati jawaban hangat yang biasanya didapatkan saat pulang. Mengernyit sebentar, ia merasa aneh. Setelah menekan untuk ketiga kalinya, pintu terbuka menampilkan presensi Himawari dengan raut kurang bersahabat.
"Ke mana saja kau?" tanya Himawari.
"Hei, santai saja. Ada apa denganmu?"
Boruto benar-benar tak mengerti, Himawari sungguh membuat suasana jadi canggung. Apalagi ia membawa Sumire untuk pertama kali ke rumah Uzumaki ini.
"Dasar bodoh, aku sudah membuka pintu. Kalau tidak mau masuk, lebih baik kau pulang ke rumah aslimu!" Himawari tampak serius. Boruto menelan ludah susah payah. Baru kali ini mendapati tatapan tajam bak seorang adik yang tengah marah besar padanya. Padahal, Himawari hanyalah orang lain baginya, bukan saudara atau siapa pun yang berharga.
Boruto spontan tak menghiraukan. Ia hanya diam sambil kebingungan. Lalu dirinya menoleh pada Sumire yang bahkan tidak sama sekali menatap padanya, Sumire tengah sibuk memandangi rumah di samping. Ya, rumah Inojin.
Himawari melihat ke belakang Boruto lalu terkejut. "Ah, ternyata ada yang lain. Pantas saja, Kak Sarada rela menunggu berjam-jam hanya untuk seorang lelaki yang melupakan janjinya demi gadis lain." katanya, tanpa berpikir panjang.
Boruto melotot pada Himawari. "Apa maksudmu?!"
Menghela napas, Himawari bersandar pada kosen kayu pintu. "Pada intinya, jika aku menjadi adikmu seperti Kak Sarada dan mendapat janji yang teringkar, aku tidak akan memaafkanmu, Kak!" Perkataannya cukup membuat Boruto berkeringat dingin. "Untung saja kau bukan kakakku, aku kasihan pada Kak Sarada yang harus pulang dengan kecewa setelah menunggu berjam-jam tanpa kabar sama sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Feeling ✔
Fiksi PenggemarTinggal dalam satu atap, berbagi kehangatan keluarga satu sama lain selama hampir seumur hidup. Bagaimana kisah mereka? ~Complicated Feeling~ Hidup bersama sedari bayi sampai usia dewasa, Boruto dan Sarada tentu saling menyayangi satu sama lain. Nam...