36. A Rebellion

682 103 17
                                    

Odaiba, Tokyo, 16 Januari 2017 {6.10 a.m}

Hinata menangis saat Himawari berangkat ke sekolah dengan raut yang masih sama seperti kemarin. Pergi dari rumah tanpa salam sama sekali.

Naruto duduk di samping Hinata, menemani sang istri, seraya memeluk menenangkannya. Sulit mengekspresikan perasaan di saat dirinya bahkan tak yakin apa yang dirasakan. Antara marah, benci, sedih, bingung. Semua terasa bercampur seperti sebuah jus yang di dalamnya terdapat beraneka ragam buah. Larut bersamaan dengan air dan gula bagai keringat dan pikiran.

"Kenapa Kak Neji harus mengatakannya?" Hinata terisak pilu. Masih tak mengerti pemikiran keluarganya. "Dia tidak perlu membawa Himawari ke dalam lubang besar ini, kan?"

"Sudahlah, Hinata, semuanya sudah terjadi. Mungkin memang itu yang terbaik, setidaknya dia sudah tahu. Jika kita memberitahunya nanti, mungkin akan lebih buruk dibanding ini."

Hinata menggeleng. "Tapi dia seperti menyakiti dirinya, dia belum makan apa pun sejak pulang kemarin! Ini bahkan sudah sangat buruk."

Naruto mengembuskan napas lelah. Jujur saja ia takut, ia sudah menghubungi Sasuke dan Sakura, beberapa menit lagi mungkin mereka akan datang. Sepulang Himawari sekolah, jika ia belum pulang, Naruto akan mencarinya.
.
.
.

"Tenanglah, tadi aku melihatnya masuk ke gerbang sekolah."

Sasuke memberi penjelasan untuk Naruto dan Hinata. Benar, ia melihat Himawari pergi ke sekolah, anak itu bahkan langsung dirangkul oleh seorang temannya yang bersurai biru. Jadi, tak perlu khawatir lagi. Hanya tinggal menunggunya pulang. Jika memang tidak pulang maka langkah selanjutnya saatnya untuk mencari.

Emosional yang dirasakan Himawari pastinya membuat gadis kecil itu sulit menerima semuanya. Jangankan menerima, mengerti saja barangkali belum tentu. Pengertian yang tepat harus dilakukan untuknya, karena kalau salah barang setitik saja bisa membuatnya berpikir kalau kehidupan seolah membohonginya. Sungguh sangat ironi jika dipikirkan, karena kehidupan yang dijalani memanglah sudah seperti sebuah kebohongan, jadi ... apalagi yang bisa dibantah? Tentu saja semuanya harus menerima. Kendati amat sulit dijalani dan terasa rumit di hati.

Ini baru satu, tinggal membuatnya mau mengikuti alur permainan kehidupan kejam ini. Lalu, selanjutnya mereka hanya akan menunggu waktu yang tepat untuk membuka semuanya. Menjelaskan kebenaran yang seharusnya tak pernah disimpan rapat sama sekali. Yang seharusnya tak perlu dikatakan seolah seperti sebuah jawaban dari tiap pertanyaan yang tak perlu dijawab.

"Sekarang, bagaimana dengan Boruto dan Sarada?" Naruto tiba-tiba bertanya.

Sasuke dan Sakura lantas menghela napas. "Sarada baik-baik saja. Tapi ... sepertinya tidak untuk Boruto. Ia marah, katanya dia merasa dipermainkan karena dilempar ke sana-kemari seenak jidat." jawab Sakura, mengusap keningnya yang terasa pening.

Air mata tak bisa ditahan lagi, Hinata menangis kembali memikirkan kedua anaknya yang sama-sama dalam perasaan yang tak baik. Ya, mungkin Himawari jauh lebih buruk, tapi, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Ini saja Boruto sudah seperti seseorang yang hidupnya dipermainkan, apalagi jika sudah tahu kebenaran. Barangkali ia akan berpikir kalau hidupnya seperti sebuah daun yang telah lepas dari rantingnya. Dan akan terempas ke mana pun angin membawanya. Lebih buruknya, mungkin Boruto akan berpikir untuk bunuh diri. Hinata tak bisa membayangkan hal tersebut, ia spontan terisak lebih kencang sembari menutup wajah. Tampak malang.

Sakura berlari ke arahnya, memeluknya. Membiarkan baju bagian bahunya basah oleh air mata. Jujur saja ia takut, ia tidak bisa kehilangan anak-anaknya. Dulu, hanya Sarada anaknya, tapi sekarang baginya Boruto dan Sarada sama saja. Mereka berdua ia sayangi sepenuh hati dan barangkali ia malah tak ingin memberitahu kebenaran untuk keduanya di masa depan. Sakura merasa takut. Seorang ibu yang sedang ia peluk adalah ibu kandung Boruto dan Himawari, dan ia hanya seorang ibu yang mengandung, melahirkan dan membesarkan Sarada bersamaan dengan Boruto. Hak penuh atas diri Boruto adalah orang tua kandungnya. Tapi, keputusan tetap pada anak itu sendiri nantinya.

Complicated Feeling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang