50. Incandesome Life

633 102 48
                                    

Mansion Uchiha, Tokyo, 14 April 2018 {11.43 p.m}

"Sarada,"

Tidak ada siapa-siapa. Boruto mengernyit seraya menaikkan sebelah alis sebab tak mendapati siapapun di dalam kamar Sarada.

"Ke mana dia?" Monolognya. Kemudian ia menutup pintu dan langsung menyadari betapa bodohnya ia telah melupakan kalau malam ini Sarada menginap di rumah Paman Itachi.

Remaja lelaki itu kemudian melangkah ke kamarnya, masih sambil membawa dua tas kertas berisi dress yang telah ia beli untuk Sarada dan Himawari di Harajuku bersama Sumire dua jam yang lalu.

Ia lantas berbaring dan mengembuskan napas kasar, sungguh melelahkan hari ini. Jadwalnya full untuk di luar rumah. Namun, kendati kelelahan dan waktu sudah lewat dari jam tidur yang seharusnya, Boruto tetap tak mengantuk entah mengapa.

Boruto pikir, barangkali ia agak gundah karena memikirkan raut wajah Sumire yang berubah murung sejak ia berkata akan membelikan Sarada gaun juga. Sepertinya gadis itu cemburu, namun, oh! Demi Tuhan, Boruto malah ingin sekali mengatakan dengan jujur kalau dirinya dan Sarada bahkan bersaudara, tapi, ya ... semua tak mudah.

"Sudahlah, Boruto! Lupakan semua itu! Sekarang cobalah untuk tidur dan jangan pikirkan apa-apa lagi." monolognya sambil memantrai diri sendiri.

Beberapa menit ia memejamkan mata namun tetap tak dapat membuat jiwanya tenggelam pada lautan mimpi. Ia malah makin terperosok pada kenyataan di mana ia bahkan selalu menghindari hal itu. Kenyataan bahwa mengapa ia berbeda, kenyataan bahwa apakah benar kehidupannya seperti ini? Bukannya tak bersyukur, tetapi perihal apakah hidupnya berjalan semestinya seperti apa yang selama ini ia doktrin pada dirinya sendiri kalau ia memang benar-benar anak sulung dari Uchiha Sasuke dan Sakura.

Boruto malah jadi larut pada kegundahan yang selalu ia hindari sejak kecil. Sialnya lagi, sekarang malah ia sendirian di dalam rumah bersama para pekerja sementara yang lain tengah menginap di luar sana.

"Aku benci berada pada situasi seperti ini,"

"Aku harap aku bisa memeluk Sarada dan menenggelamkan wajahku di lehernya hingga aku tertidur tanpa harus mengalami pusing mendapatkan diriku kembali dibuat bingung pada semuanya."

Boruto memejamkan matanya yang terasa panas. Ia mengambil guling dan langsung memeluknya erat-erat. Beberapa kali ketika ia tinggal di rumah keluarga Uzumaki, pikirannya kerapkali dihantui oleh pertanyaan besar juga perasaan-perasaan skeptis yang membawanya pada pemikiran bahwa ia sendirian. Dan dulu, ia akan menelepon Sarada untuk mendapat ketenangan padahal jelas-jelas gadis itu pastinya sudah tertidur sementara ia tetap bersikeras dan berakhir dengan Sasuke atau Sakura yang menerima panggilan dengan suara khawatir.

Namun sekarang, ia bahkan sendirian di dalam rumahnya. Rumah orang tuanya, tempatnya pulang. Tetapi hatinya malah gelisah tanpa sebab apa pun.

Terlintas pemikiran mengapa ia tak menghubungi Sarada saja? Tak peduli bahwa gadis itu pastinya sudah menjelajahi alam mimpi.

"Jika belum dicoba, tidak akan tahu, kan?"

Pada akhirnya, Boruto menekan tombol panggilan pada ponselnya. Sambil menunggu, ia bangkit kemudian duduk bersandar pada tembok dekat jendela yang tertutup.

Panggilan pertama tak ada jawaban. Untuk yang kedua kalinya, Boruto benar-benar berharap dan di detik kelima, telepon diangkat membuat Boruto tersenyum.

"Halo,"

Suara Sarada begitu lembut.

"Ada apa kau menelepon malam-malam begini?"

Boruto tersenyum. Ia menyingkap gorden ke samping hingga memperlihatkan pemandangan kota beserta gedung-gedung yang menjulang tinggi.

"Tidak apa-apa. Aku hanya bosan."

Complicated Feeling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang