34. Untidy!

614 104 13
                                    

Gorden bersibak keras kala angin bertiup sangat kencang. Jendela tetap dibiarkan terbuka kendati ruangan telah diinvasi oleh suhu dingin dari angin luar.

Boruto terdiam menatap lurus ke depan. Mulutnya terbuka sedikit, membiarkan bibirnya kering oleh udara. Uap putih bahkan sampai keluar dari mulut dan lubang hidungnya saat bernapas. Tak sadar, sudah hampir dua jam bergeming setelah konversasi canggung yang terjadi antara dirinya dan Sarada.

Tadi, kurang lebih dua jam yang lalu, ia masih di kamar Sarada, menemani saudarinya. Baru saja terenyak tatkala kejadian tempo bulan yang membuatnya melupakan janji untuk Sarada dibahas kembali. Ya, Sarada menemukan gadis itu, gadis yang lebih Boruto pilih untuk ditemani ketimbang pulang dan memenuhi janji pertamanya.

Boruto tersentak setelah nama itu disebut dengan enteng oleh Sarada. Sebenarnya, itu bukanlah masalah jika semuanya tahu, yang ia takutkan adalah ... Sarada tidak menyukai gadis dari panti itu dan tidak akan membiarkan Boruto berlama-lama atau hanya sekadar jalan dan mengobrol bersama lagi.

"Kenapa begitu? Padahal, dia juga temanku. Kenapa kau tidak bercerita padaku?" kata Sarada, menatap lurus ke depan.

"Aku—," Boruto terdiam, bingung harus menjawab apa sebab memang pada awalnya ia tidak berniat sama sekali untuk membicarakan hal tersebut.

"Kenapa, Bolt?" Sarada menatap Boruto sendu.

"Bagiku, ini adalah urusanku. Walau kau adalah saudariku, tidak semua hal yang kujalani harus kuberitahu."

Sarada terdiam. Perkataan Boruto memang benar. Setelah itu, ia tidak ingin melakukan kegiatan apa pun dan berniat untuk tidur saja. Entah apa yang dilakukan Boruto setelahnya, Sarada tak peduli.

Sekarang, Boruto mengingat kejadian tadi dan ingin sekali berteriak frustrasi. Perkataannya terlalu menusuk bagi Sarada.

"Akh! Aku memang bodoh!"

"Ini tidak masuk akal! Padahal, aku hanya ingin berteman dekat, tapi kenapa malah jadi rumit begini!"

Boruto memukul bantal guling yang ada di sampingnya. Kesal karena tidak bisa membantah Sarada. Padahal, jika ia mengatakan sesuatu yang merupakan hak penuhnya itu, semuanya tidak akan jadi begini, dan Sarada juga tidak perlu menjadikannya sebagai orang yang sangat bersalah.

Kini, Boruto mengerang frustrasi. Ia lalu bangkit dan berniat ke kamar Sarada untuk membuat klarifikasi yang jelas. Saat pintu kamar Sarada terbuka sedikit, Boruto berhenti sebab melihat Sakura yang tengah bercerita. Ia mendengar sekelumit dari cerita ringan tentang masa lalu mamanya dengan papanya itu, juga beberapa kisah tentang kedekatan sang papa dengan Bibi Hinata.

Alih-alih masuk untuk ikut nimbrung atau sekadar membuyarkan suasana hangat antara keduanya, Boruto malah diam di tempat, menguping segalanya yang bisa ia dengar dari ambang pintu.

Beberapa menit berlalu sampai ia mulai lelah dan akhirnya duduk. Dari dalam, Sarada melihat presensinya dan memanggilnya dengan nada agak dingin.

"Masuklah jika ingin masuk, Boruto."

Boruto tersentak. Sakura membuka pintu lebar dan Boruto berdiri canggung.

"Maaf, tadinya aku mau masuk, tapi aku tidak ingin mengganggu kali—,"

"Masuklah dan kita akan bercerita bersama-sama." kata Sakura, memotong ucapan Boruto.

Tanpa aba-aba, Sakura menarik lengan Boruto untuk duduk di tepi ranjang samping kanan Sarada. Boruto bisa merasakan sikap cuek Sarada kendati dirinya berada dekat dengannya.

"Jadi sekarang kita mulai lagi, tapi ... sepertinya kita akan membahas cerita lain," Sakura duduk di tengah ranjang, menghadap Sarada yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia menatap Boruto dan Sarada bergantian dengan tatapan bertanya dan senyuman kecil. "Bagaimana kalau kita membahas perasaan. Omong-omong, sepertinya kalian sudah mempunyai seseorang yang disuka masing-masing, dan kalian menyembunyikannya dari Papa dan Mama." katanya, menggoda. Tatapannya mengarah licik pada Boruto.

Complicated Feeling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang