Sudah tiga bulan sejak kepergian Boruto dari rumah. Sarada menjadi pendiam sejak kejadian itu.
Semuanya berubah. Suasana rumah, keadaan semua orang dan juga keadaan hati Uchiha Sarada.
Mungkin, kegiatan sehari-harinya masih sama seperti dulu. Protokol kesehatan saja yang sedikit jadi penambah kebiasaan baru untuk semua orang di dunia. Namun, Sarada merasa semua yang ia lakukan benar-benar terasa asing baginya. Kendati hanya untuk kehidupannya di sekolah.
Boruto masih duduk di belakangnya. Sama seperti dulu. Lelaki itu juga masih menjadi ketua kelas dengan Kakei Sumire sebagai wakilnya. Sementara dia, masih menjadi sekretaris utama di kelas. Jabatan ketua OSIS sudah diberikan ke adik kelas. Keadaan tidak banyak berubah, sikap Boruto saja yang seakan asing baginya.
Mereka bertemu, berpapasan, saling bicara. Tapi hal tersebut hanya sebatas interaksi biasa yang umum untuk semua orang. Hubungan lama mereka seolah tak pernah ada. Relasi yang terjalin sekarang seperti hanya sebatas teman. Tak lebih dan tak ada yang istimewa.
Sarada mengulas senyum, ia ingin menyapa Boruto di hadapan banyak orang di kelas. Ingin tahu respons dan reaksi macam apa yang akan diberikan oleh si remaja lelaki itu.
Setelah mengembuskan napas pelan, dengan kedua tangan yang terpaut di depan perut, Sarada berdiri, berbalik lalu berjalan ke belakang. Ia berhenti tepat di antara meja Boruto dan Shikadai. Boruto meliriknya dan mengangkat sebelah alis, skeptis.
"Boruto,"
Boruto kembali menatap ke depan, ke bangku Sarada yang kosong. "Ada apa?" Suaranya begitu dingin.
Sarada tersenyum hampa. Lagi-lagi sikapnya sama seperti sejak saat itu. Jika dipaksa jujur, Sarada ingin sekali mengatakan bahwa ia merindukan Boruto yang dulu. Yang manis dan menyebalkan baginya. Bukan yang seperti lelaki asing begini. Sarada merasa, dia bukanlah Boruto.
Lelaki itu berubah.
"Apa kau punya waktu luang sepulang sekolah?" tanya Sarada. Akhirnya ia dapat mengutarakan pertanyaannya setelah beberapa detik meringis dalam hati. "Aku ingin bicara padamu,"
"Katakan sekarang saja. Aku sibuk."
Sarada menelan ludah susah payah. Ia ingin muntah sekarang juga. Boruto benar-benar berbeda. Sikapnya ini seperti sikap yang dulu ditampilkan darinya untuk Sumire. Dan Sarada juga merasakannya sekarang. Memikirkan hal tersebut membuat dadanya mendadak nyeri.
Karena sudah tak kuat lagi menahan rasa ngilu juga rasa mual yang kian meradang, Sarada cepat-cepat membalas. "Baiklah. Kurasa itu bisa kukatakan lain kali. Hm." Kemudian dia berbalik dan berlari keluar kelas.
Sarada menahan muntah dan tangisan di sepanjang koridor yang dipenuhi lalu-lalang para siswa. Ia buru-buru masuk ke dalam salah satu bilik toilet di kamar mandi. Memuntahkan isi lambungnya dan menangis tanpa suara di sana.
Tampaknya Sarada harus lebih sabar dan tak berharap lebih lagi tentang Boruto.
Usahanya mungkin sia-sia, tapi kalau untuk mencoba sering mengunjungi Boruto ke apartemennya, Sarada tak akan berhenti. Demi mengetahui keadaan remaja laki-laki kesayangannya itu saat hidup sendirian.
*****
"Terima kasih."
Boruto menciptakan segaris senyum tipis setelah menerima tas kertas berisi kue Mochi titipan Sakura. Tanpa basa-basi lagi atau sekadar bertanya, dia langsung menutup pintu apartemennya dan membiarkan Sarada berdiri kaku di sana.
Sungguh tega. Tapi itulah diri Boruto sekarang.
Sarada hanya dapat terkekeh hambar, semerta-merta membiarkan gigi-giginya bergemelatuk keras. Hatinya begitu sakit. Dia akhirnya melangkah pergi meninggalkan pintu itu, turun lewat tangga dan langsung berjalan menjauhi areal apartemen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Feeling ✔
FanfictionTinggal dalam satu atap, berbagi kehangatan keluarga satu sama lain selama hampir seumur hidup. Bagaimana kisah mereka? ~Complicated Feeling~ Hidup bersama sedari bayi sampai usia dewasa, Boruto dan Sarada tentu saling menyayangi satu sama lain. Nam...