Hari-hari sekolah mulai lagi, kini kelas lima sekolah dasar mereka jalani dengan suka cita, sama seperti biasanya.
Semua berjalan seperti apa yang dijalani orang lain. Namun, satu hal, Boruto akhir-akhir ini merasa dirinya jenuh. Tak ayal, sesuatu dalam benak Sarada seolah menyeruak agar gadis itu berani mengambil keputusan hanya untuk sekadar bertanya dan menceriakan hari-hari Boruto lagi.
Sudah berhari-hari sejak ulang tahun keduanya yang ke-11 tahun. Boruto jarang berbicara pada Sarada. Anak lelaki itu hanya akan berpapasan dan sedikit bicara di depan kedua orang tuanya, pun itu juga jika diperlukan. Selebihnya, seperti orang asing yang tinggal satu rumah dan tidak pernah akrab bak seorang musuh yang ditempatkan di satu ruang yang sama dalam kurun waktu yang lama.
"Apa yang harus kulakukan?"
Sarada bermonolog sambil memerhatikan presensi Boruto dari balkon lantai dua. Ia melihat Boruto yang tengah melamun di ruang keluarga —yang luasnya cukup besar— seraya memandangi televisi tanpa minat sama sekali, seolah acara dalam televisi hanya membuatnya menambah rasa bosan dalam hidup.
Sarada berpikir untuk pergi menghampiri, duduk di sebelahnya kemudian mengambil bantal pada sofa dan bersandar di bahu anak lelaki itu. Bersikap seperti biasanya, seolah yang terjadi selama berhari-hari —nyaris dua minggu— ini tidak pernah terjadi dan mereka tetap menjadi saudara yang akrab setiap hari.
Langkah Sarada pelan, kentara akan kehati-hatian. Ia seperti takut jika langkahnya terdengar dan bayangan presensinya terlihat dalam sorot kiri mata biru Boruto, maka ia akan kena imbas, misalnya seperti Boruto yang memakannya hidup-hidup atau mengubur kepalanya dengan bantal sofa hingga ia mati. Oke, itu terlalu berlebihan. Sarada menghela napas dan kembali turun dengan perlahan.
Pemikirannya berkecamuk ketika tak sengaja kakinya menginjak bekas remahan keripik kentang dari Chouchou yang tadi ia makan, belum sempat dibersihkan para maid.
"Kenapa pelan-pelan? Kau seperti seorang pencuri yang baru saja mengambil seluruh harta kekayaan orang kaya di Tokyo ini dan berusaha kabur tapi malah menginjak keripik."
Nada suara Boruto terdengar sarkas. Ah, Sarada jadi kikuk dan malu pada dirinya sendiri. Hei, dia Uchiha Sarada tapi bisa dibuat malu oleh saudaranya sendiri sesama Uchiha yang lahir dari rahim yang sama? Bodoh. Itulah pemikirannya.
"Kemari," ajak Boruto. Tangan kirinya seolah menarik seluruh jiwa Sarada ke hatinya. Ah, Sarada sepertinya terlalu berlebihan hari ini. Ia bahkan sudah berkali-kali berpikir hal yang buruk. Tidak. Hal yang aneh, barangkali.
Boruto menoleh saat diri Sarada tak kunjung datang ke sisinya. "Apa yang kaulakukan?" tanyanya.
"Ehehe, tidak. Ah, kakiku jadi kotor. Aku cuci kaki dulu, nanti Mama bisa marah kalau aku berjalan di atas karpet dengan kaki yang penuh remahan keripik dengan minyak seperti ini." katanya, langsung kabur kembali ke atas dan berlari ke kamar.
Sarada mengutuk dirinya sendiri. Hei, dia itu kenapa? Boruto terasa aneh baginya. Ini buruk! Sangat buruk! Sarada merasa jantungnya berdetak kencang dan sesuatu dalam hatinya tarasa rumit untuk dijelaskan. Ia tak mengerti apa yang tengah dirasakan dirinya.
Sebuah stigma muncul dan Sarada berpikir bahwa itu adalah stigma negatif yang membuatnya ragu sekaligus tak nyaman dengan Boruto. Ia bernalar bahwa ini adalah hormon dirinya yang akan menginjak remaja. Wajar saja, kan, kalau seorang gadis akan merasa kurang nyaman pada lelaki yang seumuran dengannya kendati lelaki itu saudaramu sendiri? Pikirnya. Acak.
"Akh... Apa yang terjadi padaku?! Menyebalkan!" teriaknya, nyaris frustrasi.
*****
Kediaman Uzumaki, Odaiba, Tokyo, 27 April 2013 {1.00 p.m}
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Feeling ✔
FanfictionTinggal dalam satu atap, berbagi kehangatan keluarga satu sama lain selama hampir seumur hidup. Bagaimana kisah mereka? ~Complicated Feeling~ Hidup bersama sedari bayi sampai usia dewasa, Boruto dan Sarada tentu saling menyayangi satu sama lain. Nam...