54. Pseudo Fear

576 94 21
                                    

Boruto rasanya tidak rela untuk pergi dari kampung halaman ayahnya Naruto. Ia alih-alih senang karena akan segera kembali ke rumah, malah memasang raut kurang minat selama perjalanan pulang berlangsung.

"Sudahlah, lain kali kita akan ke sana lagi," sahut Naruto sambil tetap fokus pada jalan yang membentang lengkung amat halus, hingga panoramanya tampak lurus. "dan nanti kita akan mengajak Sarada dan Himawari, bagaimana?"

Boruto mengangguk patuh. Remaja lelaki ini entah mengapa jadi sangat penurut padanya, padahal biasanya hanya memberikan gumaman dingin nan cuek yang persis seperti gaya khas Uchiha Sasuke.

"Saat berangkat, kita melihat pemandangan laut di malam hari. Kalau sekarang, lihatlah, pemandangan laut di siang hari."

Pantai dan laut timur, mengarah ke samudra Pasifik Utara itu menjadi salah satu objek pemandangan yang tersuguh bila melewati jalan tol di ujung timur Jepang. Boruto bahkan terus-terusan mematri pandangan ke luar kaca karena pemandangan semacam itu tak boleh dilewatkan bila pergi ke sana. Apalagi kalau perginya jarang-jarang, hal semacam itu pastinya jadi sesuatu yang mengagumkan untuk dikenang kendati dapat dilihat di mana saja suatu waktu.

Mereka telah melewati tiga jam penuh tanpa istirahat dan pada akhirnya Naruto memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah pom bensin dengan tempat parkir luas di mana banyak sekali mall dan restoran berjejer di sana. Mereka berhenti tepat di tempat peristirahatan yang dikhususkan untuk orang-orang yang lelah di tengah jalan tol.

"Kita akan di sini satu jam,"

"Kapan kira-kira kita sampai di Tokyo?" tanya Boruto.

"Mungkin pukul lima atau paling lambat setengah tujuh malam."

Boruto mengangguk. Mereka masuk ke sebuah restoran cepat saji terkenal dan menghabiskan waktu di sana selama satu jam sebelum kembali bergegas pulang.

Ketika hampir sampai di dekat tempat parkir mobil, Naruto dan Boruto meringis kasihan pada seekor anjing putih dengan belang cokelat yang berjalan pincang sebab kaki belakangnya terluka parah. Sepertinya baru saja kena sebuah duri besar dari sebuah ranting pohon cemara.

"Dia harus segera ditangani!" Naruto mengelus kepalanya, dengan pelan mengusap bagian lukanya, lantas membawanya ke dalam mobil.

"Kita akan membawanya?"

Naruto mengangguk. "Yang kutahu, di sekitar sini tidak ada dokter hewan. Jika kita mencari di google maps pun maka akan membuang waktu karena kita akan menunggu. Jadi kita akan membawanya ke dokter hewan di Tokyo. Dia pasti cukup kuat untuk bertahan berjam-jam di mobil."

*****
Tokyo, 23 April 2018 {5.34 p.m}

"Sarada-chan,"

Sarada tersentak, cepat-cepat menoleh ke belakang. Ia mendapati Sumire berjalan pelan ke arahnya dengan senyuman.

"Hai Sumire,"

Sumire mengangguk. Ia menyejajarkan diri di sisi Sarada dan mereka berjalan bersama di trotoar. "Kau habis dari mana?"

Sarada menunjukkan dua buah kantong plastik besar berisi bahan makanan mentah pada Sumire. "Swalayan," jawabnya.

"Sendirian?"

"Ya. Aku sering seperti ini," Sarada mengangkat kedua bahu. Gelagatnya sangat menunjukkan bahwa ia enggan berbicara lagi. Namun tetap bersikeras bersikap seperti biasa. "Kau sendiri, dari mana Sumire?"

Tiba-tiba Sumire tersenyum amat lebar ketika pertanyaan dari Sarada mengudara. "Aku baru saja dari rumah Inojin, sekalian ke rumah Boruto-kun,"

Sarada diam, spontan menatap Sumire tak paham. Boruto? Ia benar-benar bingung. Bukankah semalam gadis bersurai ungu itu menelepon Boruto? Apakah Boruto tak memberitahu Sumire kalau ia sedang tidak di Tokyo, atau setidaknya berkata kalau ia sedang tidak di rumah Uzumaki sekalipun dirinya di Tokyo karena, ya, dia tinggal di mansion Uchiha. Kini Sarada benar-benar dibuat mengernyit skeptis sebelum pada akhirnya Sumire berucap lagi dengan suara dan raut kelewat puas.

Complicated Feeling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang