46. Inflamed

618 96 85
                                    

Langit malam entah mengapa terasa hampa. Kelap-kelip bintang jauh di atas sana tak cukup memperindah hari yang melelahkan.

Sarada bergeming di atap, duduk di sebuah kursi santai yang mengarah langsung pada pemandangan seluruh kota. Ia masih tak terima dengan bentakan yang beberapa menit lalu ia dapatkan dari Boruto.

Sungguh, remaja lelaki itu membuatnya menahan tangis sejak tadi. Kata-katanya yang jauh berbeda saat di sekolah kini membuatnya ingin sekali mengeluarkan segala rasa sakit yang kian meradang di hati. Napasnya tersengal sebab menahan angkara yang makin menjadi. Bukannya ingin membalas dan berteriak, namun, Sarada rasanya ingin mengatakan pada Boruto untuk tidak berdekatan lagi dengan gadis panti bersurai ungu itu.

Ya, ia memang salah. Ia harusnya tak boleh egois dengan memaksakan pikiran untuk menjatuhkan harga diri mengambil sesuatu yang sudah ia tolak mentah-mentah. Dan ... alasannya pun tak jelas. Yang ia lakukan hanya seperti seorang pecundang kurang makan.

Ketika Boruto pulang agak larut karena sempat mengendap, tak ingin ketahuan pulang telat ke mansion, lelaki itu langsung menarik Sarada ke dalam kamar serta-merta membuat peradilan yang cukup memuakkan bagi si gadis.

Boruto menyalahkan Sarada. Ia menghakiminya, berkata kalau Sarada tidak tahu malu dan tidak tahu diri.

Memang. Ia menyadari hal itu dan ia juga sudah paham sejak awal ketika ia dengan seenak jidat malah sekonyong-konyong meminta bekal milik Boruto yang telah ia tolak sebelumnya dan telah diberikan kepada orang lain yang jelas lebih membutuhkan makan siang tersebut. Tapi, apakah pantas pula jika saudaranya yang telah memberikan bekal itu tanpa basa-basi lalu serta-merta saat malam merangkak malah dengan wajah marah, menyemprotkan segala omelan padanya? Hei, Boruto juga salah di sini!

"Harusnya aku tahu, dia tidak benar-benar memberikan bekalnya padaku." monolognya, terdengar pelan sekali. Nadanya juga sedikit sengau akibat sesenggukan selama satu jam sejak tadi. Rasa-rasanya bak tengguli ditukar cuka. Keadaan yang menggembirakan ketika Boruto masih memedulikan dirinya malah berubah jadi menyedihkan.

Sarada kembali memusatkan atensi pada langit malam berbintang. Kendati terasa semu, setidaknya hatinya tak kembali meradang, alih-alih menjadi agak tenang. Senyuman mulai terpatri di wajah cantiknya. Tipis sekali.

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Kami akan kembali lagi ke sekolah. Padahal baru di hari pertama, tapi entah kenapa rasa-rasanya aku sudah muak dengan segalanya yang ada di sana."

Pikirannya mulai mengembara pada hal-hal yang sekiranya akan sangat menyebalkan. Tentunya ia sendiri sangat tidak menginginkan hal tersebut. Namun, tak ada pilihan lain selain menerima, bukan? Sarada juga paham betul bahwa semua ini mungkin memang sudah takdir. Ia bahkan tak mengerti perasaannya sendiri.

Ia tak tahu, apa yang ia rasakan tentang diri Boruto. Gundah gulana kembali menyerang ke titik nalarnya yang tak kunjung paham. Ia bimbang antara rasa sayang dan tak ingin kehilangan. Antara benci namun tak mengerti apa yang bisa menjadi alasannya mendengki.

Pertanyaan serta rasa ragu yang kerapkali menyergap kepalanya, membuat ia nyaris hilang akal. Jawaban masih belum terungkap. Semuanya bagai kucing lepas senja. Sukar dicari dan didapatkan.

Sarada menghela napas. Ia bangkit untuk turun, berniat menyegarkan kerongkongan yang agaknya mulai kering. Ia juga akan bersiap tidur setelah ini, setidaknya masih ada hari esok yang entah akan bagaimana nantinya.

Perlahan-lahan langkahnya dibuat amat lamban. Sayup-sayup ia mendengar suara cakap-cakap dari dalam ruangan kerja Sasuke. Ya, Sarada tahu kalau Paman Shikamaru dan Bibi Temari datang ke rumah sekitar tiga puluh menit yang lalu, tapi, perihal apakah yang dikonversasikan hingga membuat orang tuanya dan dua teman mereka harus berbicara di dalam ruangan terkunci? Ia tak berniat menguping, tak baik dan ia pula tak peduli.

Complicated Feeling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang