"Apa?!"
"Jangan berteriak di telingaku, bodoh!"
Boruto meminta maaf pelan. Kemudian mulai membuka mulut untuk menyuarakan protes kembali. Namun, alih-alih lantas bersuara, ia malah tercenung tanpa sadar sebab memikirkan perihal perdebatan apa yang baru saja akan ia mulai.
Sementara di hadapannya, Sarada memunggungi, tengah asyik merapikan perlengkapan sekolah yang akan dipakai saat masuk nanti. Kegiatan yang dilakukan seolah benar-benar tak peduli dengan raut Boruto yang masih bingung dan agak kesal.
Keterkejutan serta emosi rendah milik Boruto terangkat karena pembicaraan tentang sekolah menengah atas yang akan mereka masuki. Bukan hal yang terlalu penting bagi Sarada, namun Boruto agak tak rela jika mereka harus bersekolah di SMA yang sama seperti orang tua mereka. Ia sebenarnya mau-mau saja, apalagi jika di sana menyenangkan dan membuatnya nyaman, tapi, rumornya dulu sekolah itu seringkali mengambil tumbal tiap tahun. Bukan tumbal seorang siswa yang akan mati dijadikan bahan sesaji atau semacamnya, tapi seperti siswa itu akan mengalami hal buruk dan ia akan menemukan berbagai hantu di tiap penjuru sekolah selama seminggu.
Boruto bergidik ngeri jika ia yang jadi korban suatu hari nanti. Itu akan menjadi hal terakhir yang ia inginkan.
Sarada berbalik untuk mencari penggaris yang tadi ia taruh di atas ranjang. Namun kini tertindih oleh Boruto yang duduk di atasnya.
"Minggir, mana penggarisku?"
Boruto hanya menatap Sarada dengan raut ngeri. Pikirannya masih tertuju pada hal-hal mistis yang barangkali bagi Sarada akan terdengar sangat bodoh.
"Boruto!" Sarada menendang tumit kaki kirinya yang dilipat di atas paha kanan. Boruto terkesiap, lantas mengaduh sakit pelan.
"Sakit tahu!"
"Aku bilang minggir! Apa kau sudah tuli?" Sang gadis mendorong si lelaki hingga ia terjerembap ke kasur. Sedikit bersumpah serapah kemudian bangkit ketika Sarada telah mengambil penggaris yang sejak tadi bersemayam di bawah bokong hangatnya.
Boruto berniat pergi dari kamar Sarada. Perasaan gadis itu sepertinya agak kurang bagus dan Boruto tak ingin menambah situasi menjadi lebih buruk. Namun ketika ia hampir membuka kenop pintu, Sarada di belakangnya sudah bersuara lebih dulu.
"Memangnya ada yang salah dengan sekolah itu?"
Ah, topik ini. Inilah yang ingin sekali Boruto konversasikan dengan Sarada sedari tadi. Spontan ia berbalik kemudian duduk kembali di samping si gadis yang menunggu jawaban.
Boruto menghela napas. "Kau tahu,'kan tentang rumornya?" Ia menatap Sarada, wajahnya mendekat perlahan.
"Ya, di tiap-tiap tempat yang besar memang biasanya memiliki kisahnya masing-masing. Tapi, rumor perihal apa yang baru saja kaumaksud, hm?" Sarada bernada malas, ia menekan suaranya agar terdengar agak serius.
"Kau pura-pura tidak tahu atau memang kau belum pernah mendengarnya?"
"Ya. Aku belum pernah dengar rumor apa-apa tentang sekolah itu," Sarada mengangkat kedua bahu.
Boruto menghela napas. Ia berdiri kembali. "Sudahlah, lupakan. Yang jelas, kau akan tahu jika kita sudah masuk nanti. Aku malas bercerita, lagi pula kau akan meledekku, jadi lebih baik aku kembali ke kamar untuk menyiapkan semuanya sebelum Mama melempar seluruh omelannya padaku." Ia pergi dari sana, sedikit membanting pintu di akhir hingga Sarada menyumpahi tingkahnya dengan nada keras.
Sementara di luar, Boruto bukannya kembali ke kamar, malah terdiam sembari sayup-sayup mendengarkan suara Sakura yang mengudara-menggema-dari lantai satu hingga posisinya di depan pintu kamar Sarada ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Feeling ✔
FanfictionTinggal dalam satu atap, berbagi kehangatan keluarga satu sama lain selama hampir seumur hidup. Bagaimana kisah mereka? ~Complicated Feeling~ Hidup bersama sedari bayi sampai usia dewasa, Boruto dan Sarada tentu saling menyayangi satu sama lain. Nam...