"Mungkin, inilah takdir,"
"Semua berjalan semestinya. Aku dan semua orang hanya harus mengikuti alur hidup yang sudah digariskan. Kami hanya bisa pasrah."
Sarada mengembuskan napas. Matanya mengerjap perlahan sebelum terbuka penuh untuk menatap pada langit-langit kamar. Lukisan antariksa yang indah itu tampak semu baginya.
Planet-planet serta bintang-bintang yang bertaburan tak lagi buatnya berdecak kagum seperti beberapa tahun yang lalu saat gambaran itu dipasang kali pertama di langit-langit kamarnya.
Tangannya meraba kasur, mencari gelang manik kayu yang sudah ia simpan sejak kecil. Hadiah buatan tangan dari Boruto saat usia mereka empat tahun. Ia tersenyum miris ketika memandangi benda itu. Perasaannya tak lagi sama. Dulu, ia selalu teramat senang jika memakai gelang itu, dulu ia menyukainya. Namun sekarang, rasanya gelang cantik itu hanyalah sebuah susunan manik-manik kayu tak berarti. Tak bernilai dan ya, sama seperti benda tak spesial lainnya.
Entah memang perasaannya, atau memang semakin dewasa maka tiap perasaan pasti berubah akan suatu hal.
Sudah terhitung seminggu sejak kejadian waktu itu. Sarada sudah melupakannya, kendati dalam hati masih terasa menyakitkan, ia berusaha tegar dan berkata tegas pada diri sendiri bahwa perasaannya-lah yang salah. Ia harusnya mendukung Boruto, bukan? Ya, selagi perhatian Boruto bisa terbagi antara untuk seorang gadis dan untuk adiknya.
Hubungan mereka baik-baik saja setelah itu. Boruto memang sempat bertanya, tapi lelaki itu langsung paham dan mengatakan kalau pertanyaannya hanya formalitas untuk memastikan kalau yang dikatakan Sumire adalah benar.
Jujur saja, Sarada sebenarnya sejak awal tak mempermasalahkan apa yang dikatakan Sumire, atau perihal perkataan Tsubaki pada Sumire seminggu yang lalu. Namun, yang membuat ia berdiri dan berucap dengan nada kesal waktu itu lantaran ia mengingat konversasi antara dirinya dan Boruto dahulu.
Perbincangan yang melibatkan ekonomi dan sosial. Itu sungguh menyakitkan. Boruto membandingkan dirinya dan gadis itu, kan? Bukankah ia saudarinya? Boruto juga mendapat hak dan kekayaan yang sama. Namun malah dengan nada enteng-waktu itu, berkata kalau Sarada setidaknya harus sekali-kali keluar dari kehidupan yang bergelimang harta. Ia harus mencoba hidup sederhana.
Sarada masih mengingat masa itu. Ia merasa terhina. Apalagi, secara tak langsung Boruto membawa orang tua mereka sendiri. Padahal, Sasuke dan Sakura selalu mendidik mereka tanpa kekayaan sama sekali. Ya, mereka memang tinggal di rumah yang amat besar, tapi, apakah itu menjamin kalau apa pun kemauan mereka selalu harus dituruti? Buktinya banyak hal yang telah dirinya dan Boruto relakan tak kesampaian, tapi Boruto malah masih saja berpikir bahwa hidup mereka berdua selalu dilimpahkan rasa nikmat.
Sarada mengingat hal tersebut dan berakhir tak kuat menghadapi suara-suara itu. Ungkapan Boruto tiga tahun silam telah membuatnya menjadikan kalimat tersebut bagai rasa takut yang mendalam, Sarada jadi memiliki sekelumit perasaan sulit menerima kehidupan yang ia jalani. Dalam jiwanya. Ia bagai kaca yang sewaktu-waktu bisa retak kapan pun jika digores atau dijatuhkan perlahan.
Dalam lamunan yang enggan terbuyarkan, tiba-tiba suara Boruto memanggil membuat ia kembali pada kenyataan.
"Ada apa?" tanya Sarada, ia menatap malas pada Boruto yang kepalanya muncul di balik pintu.
"Malam ini aku tidur bersamamu, ya."
Boruto masih setia di sana, menunggu dengan senyum penuh harap.
Sarada menghela napas. "Terserah." ujarnya, berbalik memunggungi pintu.
Boruto lantas masuk dengan hati gembira, serta-merta berbaring di samping kanan Sarada. Ia menatap punggung gadis itu yang terbalut piyama bergambar aneka buah-buahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Feeling ✔
FanfictionTinggal dalam satu atap, berbagi kehangatan keluarga satu sama lain selama hampir seumur hidup. Bagaimana kisah mereka? ~Complicated Feeling~ Hidup bersama sedari bayi sampai usia dewasa, Boruto dan Sarada tentu saling menyayangi satu sama lain. Nam...