28. A Lie

907 118 65
                                    

Asap dari sigaret yang dibakar pada ujungnya itu mengepul hingga memenuhi seluruh ruangan. Sepuluh batang telah kandas terbakar dan hanya bersisa puntung-puntungnya yang berserak acak di dalam asbak.

Lantaran terlalu depresi akan realitas pahit yang menggerogoti hidup dan dirinya, sang pria tak bisa menemukan sesuatu yang baik alih-alih pasrah dan malah memilih untuk menghabiskan waktu dengan beberapa botol alkohol dan tiga bungkus rokok yang masih utuh di atas meja bar. Tak peduli akan menyusahkan orang lain sebab dirinya pasti akan mabuk kepayang hingga tak bisa berdiri kendati hanya untuk melangkah perlahan.

"Shhh ...," Ia mendesis kala rasa pening mulai melanda keras seolah menghantam kepalanya ke arah beton jalan raya.

Tiap-tiap malam hanya dihabiskan dengan kegiatan merenung dan menyesali masa lalu. Ia terlalu gila sampai tak melihat suatu titik cahaya dari kegelapan yang telah menenggelamkannya. Tahun-tahun berlalu yang dilakukan olehnya telah sia-sia sebab sang pemilik kehidupan tak berniat untuk mencari dan menemukan uluran tangan yang tepat tuk membantunya bangkit ke atas. Ah, ia sudah tenggelam terlalu dalam sepertinya. Berpikir untuk naik saja tak ada, frustrasi yang memenuhi seluruh ruang pada dirinya terus-terusan menjadi pemberontak utama agar tetap pada pendirian yang jatuh hingga ke dasar paling dalam pada sisi kelam.

"Bodoh! Tolol! Idiot! Sinting!"

Kendati semua menghina, kendati kehidupan seakan tak menerima dirinya lagi, ia masih tetap bertahan. Ya, bertahan dalam penderitaan.

Sabaku Gaara, ia mendesis agak keras ketika Hyuuga Neji—yang sejak tadi menemani tingkah bodoh depresinya, malah mengatainya sesuatu yang memang fakta. Sekonyong-konyong tangannya terangkat—tampak lemah—dan lalu nyaris mendarat tepat di depan pipi mulus Neji.

"Kau akan berakhir lebih buruk kalau-kalau sampai benar mendaratkan tangan kotormu padaku."

Gaara terkekeh, satu sekon berikutnya ia terbatuk dan mengisap kembali puntung sigaret yang tinggal setengah di antara dua belah jari kirinya itu. Mengembus kasar asapnya kemudian serta-merta meneguk anggur dengan kesetanan sebelum pada akhirnya terbatuk kembali, bak orang akan mati.

"Kau jauh lebih beruntung dariku."

Kesadarannya mulai terkikis, pening benar-benar menguasai kepalanya sebelum melanjutkan dengan kepayahan, "Aku memang bodoh mengatakan ini, tapi—,"

Sudut bibirnya terangkat, menciptakan seringai pedih. "Hanya kau, orang yang berani menemani masa pelik hidup Si berengsek ini."

"Meski begitu, kau masih memiliki satu rumah besar yang masih bagus. Ya, walau rumah ini sangat suram bagi siapa saja yang berkunjung." Batin Neji.

Di sisi lain, Neji terkekeh sombong setelah mendengar ucapan Gaara. "Dasar Sinting!" Ia mengambil satu batang rokok, membakar ujungnya dan mengisap perlahan sebelum membuka mulut kembali untuk melanjutkan. "Aku sama sekali tidak peduli padamu. Kau hanya manusia bodoh yang berengseknya pernah mendapat kesenangan sementara yang malah membuat dirimu menjadi pecundang selama beberapa tahun belakangan."

"Kalau begitu, kenapa kau di sini?"

"Aku punya urusan denganmu,"

"Kau tidak pernah mengonversasikan hal itu padaku sejak dulu," Gaara berhenti sejemang dari acara mengudutnya, ia berjalan menjauh dari Neji dengan sempoyongan ke arah mesin pendingin yang berdiri kaku di ujung. Mengambil dua botol air mineral dan kembali dengan wajah yang—sedikit—lebih berseri. "Mari, bicarakan, apa yang kau butuhkan dari manusia tak berguna ini?"

"Cih."

Neji membuang muka seraya memasang raut kentara jijik ketika mendapat mimik wajah sok manis milik Sabaku Gaara. Ia lantas sedikit bergeser menjauh tatkala Gaara mendudukkan diri di sampingnya. "Kau benar-benar sudah gila."

Complicated Feeling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang