16. Decision

943 138 34
                                    

Tokyo Furitsu Daiichi Chuugakko, Nagata-chou, Chiyoda, Tokyo, 14 April 2015 {9.10 a.m}

Sejenak merasakan angin musim semi yang bertiup kencang, Sarada mengembuskan napas dalam. Semilir bayu yang menerpa seluruh tubuhnya tak membuat dirinya merasa dingin agar segera masuk ke dalam kelas. Ia sendiri di balkon. Padahal, meski musim semi, alih-alih merasa senang seperti murid-murid lainnya yang menikmati hawa sejuk di bawah pohon Sakura, Sarada malah berdiri memandang lurus ke depan tanpa mau ikut berbaur dengan teman-teman.

Sudah dua minggu sejak dirinya dan Boruto masuk ke sekolah menengah pertama. Dengan jarak dan tempat yang memisahkan mereka tentunya.

"Aku ingin tahu, apa yang dilakukan Boruto di sana, ya?" monolognya. Selalu. Jika tengah sendirian di sekolah.

"Ah, sepertinya ia sedang bersenang-senang dengan teman-temannya."

"Itu mungkin benar."

Tangannya diremas lalu dikepal kencang. Memukul pelan besi penghalang yang berada tepat di depan perutnya. Menimbulkan sedikit bunyi dan getaran tak berarti hingga ujung balkon di sisi kanan dan kiri.

Hatinya nyeri seketika. Entah karena apa, tapi saat pikiran-pikiran seperti Boruto yang bahagia bersama teman-teman perempuannya, tanpa adanya dirinya membuat Sarada meringis menahan rasa ngilu di hati. Tak peduli sekuat apa pun ia menepis, perasaan aneh terus saja menggerogoti hatinya yang bahkan tak mengerti apa yang ia rasakan tentang Boruto.

Cemburu? Hei, Boruto itu saudaranya! Sarada selalu berpikir begitu. Kendati pada kenyataannya, ia malah menganggap Boruto seperti anak laki-laki lain yang tinggal satu rumah dengannya. Entahlah. Itu hanya perasaannya saja. Tapi, barangkali sesuatu memang agak aneh, bagi Sarada sejak awal. Ia cukup pintar, tapi belum cukup hebat untuk menggali semua hal yang ia yakini ada yang tak beres. Apalagi, semua kendali dipegang oleh Uchiha Sasuke. Ayahnya kandungnya sendiri. Huh.

"Boruto. Aku ... tidak tahu, kenapa diriku begini," Sarada memejamkan mata. Menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan. "Kau benar, setelah beranjak hampir remaja, kini aku menyadari sesuatu. Kau berbeda dan sesuatu sangat aneh telah terjadi selama ini."

Masih dalam kebimbangan. Tak mengerti apa yang terjadi. Tak mengerti apa yang dirasakan dalam hati. Dan ... tak tahu apa yang selama ini dijalani. Kehidupan layaknya manusia biasa? Ya! Tapi, hatinya selalu gundah tiap melihat orang tuanya dan Boruto. Semuanya seperti tak ada yang beres. Mungkin Boruto tak sadar, atau tak peduli. Namun, Sarada kini ingin sekali menyelidiki sendiri.

Setelah melewati berbagai macam pertimbangan dan segala macam konversasi dalam diri, ia akan merealisasikan rencananya beberapa hari yang lalu. Dan, kini dirinya memutuskan akan melakukan hal itu dari sekarang.

*****
{1.48 p.m}

"Kau tahu, kemarin aku melihat Boruto datang ke panti asuhan." Chouchou berkata sebelum melahap sesendok salad ke mulutnya.

Ia membuat Sarada sedikit tersentak.

"Ke panti? Kapan? Jam berapa?"

Sambil mengunyah, Chouchou mengusap dagu dengan jari tangan kiri. Kedua sikunya bertumpu di atas meja. Sarada tampak sudah tidak sabar, "Aku pikir, dia baru pulang sekolah. Seharusnya kau tahu, Sarada. Pastinya dia pulang terlambat, kan?"

Sarada mengingat sesuatu. Ya, Boruto memang telat pulang kemarin. Ia bahkan baru datang saat jam makan malam akan dimulai. "Ya, dia terlambat tiga jam dari waktu seharusnya." katanya.

"Ah, berarti benar!" seru Chouchou.

"Kau melihatnya di sana atau bagaimana?"

"Aku habis dari mall bersama Papaku dan tepat saat itu si Boruto sedang berjalan keluar dari Panti."

Complicated Feeling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang