21. merasa bersalah

30.2K 3K 77
                                    

-Vote dulu sebelum baca!
.

.

.

matahari mulai bersinar, memancarkan cahaya hangat yang menembus tirai-tirai kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Naura Amanda Sungkar. ia tertidur pulas dalam pelukan sang Dokter dadakan, Barra Nugraha.

Naura menggeliat dalam setengah tidurnya. Ia merasa sangat nyaman, hangat, juga harum. Mata indahnya terbuka perlahan, menyesuaikan cahaya matahari pagi yang menerpa korneanya.

Naura mendongak, menatap kosong sosok yang tengah bersamanya. Sosok yang ia peluk, yang sedari kemarin amat cekatan dalam merawatnya hingga kini ia merasa lebih baik dari sebelumnya.

"Makasih," ucapnya dalam hati.

Memang kepalanya masih sedikit pusing, namun setidaknya suhu tubuhnya sudah mulai menurun. Naura tidak melepaskan pelukannya, ia termenung menatap wajah tidur Barra. Tampan, Naura tidak pernah menyangka lelaki tersebut akan setampan itu.

Astaga apakah dia sudah gila? Naura menggelengkan kepala, menghilangkan fikiran nglamurnya. Ia enggan melepaskan pelukannya, membiarkan Barra tidur lebih lama. Ia yakin, semalaman pasti Barra banyak terjaga karena dia.

Namun dugaannya ternyata salah, Barra terlebih dahulu bangun sebelum dirinya. Lelaki itu hanya memejamkan mata, merasakan pelukan hangat Naura yang tak kunjung dilepaskan.

Barra membelai Surai indah Naura, "gimana? Udah enakan?" Tanyanya mengagetkan Naura.

"Om Barra udah bangun?" Apakah Barra tahu kalau sedari tadi Naura menatapnya? Naura berharap, tidak.

"Saya bangun duluan."

"Makasih Om Barra, Ura udah mendingan." Naura melepaskan pelukannya.

"Sama-sama. tunggu disini, ya? Saya ambilin sarapan buat kamu," titahnya perlahan bangun dari kasur Naura.

"Ura mau disuapin mama." Barra menoleh, menganggukkan kepalanya lantas keluar dari kamar Naura.

___

Kini Naura sedang berada di dalam mobil, dimana mobil tersebut akan membawanya menuju rumah sakit. Tadi pagi setelah Barra memberi tahu kepada orang tuanya tentang keadaan Naura, mereka marah. Kedua orang tua Barra marah karena semalaman tak ada yng memberi tahu tentang keadaan Naura.

"Naura nggak mau ke dokter, ma," rintih Naura memegang sebelah tangan mamanya.

"Kamu harus ke dokter Ur, badan kamu panas."

"Tapi, ma. Naura udah baikan kok. Semalem Om Barra udah ngompres Ura," ucapnya berusaha membujuk Nuraini. Barra tersenyum, ia bahagia mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Naura.

"Udah, diem."

Tak ada pilihan lain, Naura harus pasrah apapun yang terjadi. Meskipun dia takut suntik, toh tidak akan membunuhnya kan? Mungkin hanya sedikit sakit.

Sesampainya mereka di puskesmas, Naura duduk bersama mamanya di kursi tempat pasien menunggu. Sedangkan Barra, pergi untuk mengambil nomor antrian.

"Dapat nomor berapa, Bar?" Tanya Nuraini disaat melihat Barra berjalan menghampirinya.

"Dua belas, ma." Pun Barra duduk bersama mama dan kekasih halalnya, menunggu giliran mereka.

"Kamu kenapa gak ngasih tau mama dari kemarin?" Tanya Nuraini tiba-tiba.

Bara menoleh, "kemarin kalian udah tidur. jadi Barra gak mau ganggu," ucapnya.

"Ya tapi kan harusnya kamu itu-" ucapan Nuraini terpotong karena tiba-tiba Naura berlari meninggalkan mereka berdua.

Om Barra [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang