42. back home

19K 2.1K 177
                                    

-Vote dulu sebelum baca!
.

.

.

Sebuah tangan lentik kini sedang menepuk-nepuk bahu seseorang yang tengah tertidur pulas di sampingnya. Matanya terpejam, namun tubuhnya menggeliat tidak nyaman. Naura Amanda, berusaha membangunkan Barra yang tidur membelakanginya.

Jika dirasa, sudah tiga hari mereka berlibur. Dan hari ini juga, mereka akan pulang ke rumah masing-masing setelah beberapa kegiatan akhir dilakukan. Merasa ada yang menepuk pundaknya, Barra yang belum sepenuhnya tersadar pun menoleh.

"Kenapa?" Tanyanya serak, suara khas orang bangun tidur.

"Dingin," racau Naura meremas selimut yang dipakainya.

"Sebentar," lelaki tersebut memaksakan diri untuk bangun. Ia melangkah guna menyalakan penghangat ruangan. Setelah selesai, ia kembali lagi merebahkan tubuhnya di samping Naura.

"Masih dingin," igaunya lagi kini menelusup masuk kedalam pelukan Barra. Tentu saja, dengan senang hati pria tersebut membalas pelukan istrinya.

"Udah anget?" Tanyanya memastikan disaat sudah tidak mendapati racauan dari mulut Naura.

Sedangkan di dalam sana, Naura mengangguk dalam hati. Nyaman, akhir-akhir ini dia yang selalu menempel kepada Barra disaat tidur. Naura tidak akan berada jauh-jauh dari tubuh besar Barra setiap mereka tidur bersama.

Merasa yakin bahwa Naura sudah tertidur kembali, Barra pun berniat untuk memejamkan matanya. Namun baru beberapa detik setelah Barra menutup mata, sesuatu berlonjak kasar melepaskan pelukannya.

Naura, tiba-tiba saja perempuan itu berlari cepat memasuki kamar mandi membuat Barra khawatir. Lelaki itu menyusul Naura, memeriksa apakah yang sedang dilakukan istrinya.

"Uekkk! Uekk!"

"Uhuk-uhuk!" Pagi, selalu seperti ini setiap pagi. Awalnya Naura sendiri tidak mengerti apakah hal itu wajar atau tidak. Namun setelah berkonsultasi dengan mamanya, kini ia mengerti bahwa hal seperti itu memang wajar.

"Kamu kenapa?" Tanya Barra seraya mengusap punggung Naura.

Wanita tersebut menggeleng, "enggak apa-apa. Cuma Morning sickness," jawabnya disela kegiatan membasuh mulut serta wajah.

"Tidur lagi, gih!" Pinta Barra diangguki Naura.

"Bisa jalan gak?" Tanya lelaki tersebut risau disaat mendapati tubuh Naura yang semakin lemas.

"Bisa, kok."

"Pelan-pelan."

Duduk di tepi ranjang, meluruskan kaki dan bersandar di kepala ranjang. Naura menatap dirinya dari pantulan cermin, pucat. Sampai kapan ia akan terus muntah-muntah seperti ini? Ia tidak tahu, yang paling penting adalah bagaimana cara agar dirinya mampu dengan sabar menjalani semua resiko ini.

Sejenak ia melihat kearah perut seraya merabanya. "Kapan besarnya?" Monolognya.

Barra yang mendengar perkataan Naura pun kini duduk di samping Naura. "Coba lihat," ucapnya antusias bersiap menyingkap baju yang dipakai Naura.

"Mau ngapain?"

"Lihat anak aku, udah kerasa apa belum." Naura melepaskan tangannya yang semula mencekal tangan Barra. Ia membiarkan sosok yang sedang bersamanya untuk melihat sekaligus memegang perut datarnya.

"Belum kerasa. Tapi lumayan, ini udah agak buncit." Naura mengangguk setuju.

"Gimana ya? Kalau perut kamu udah besar banget, terus kamu jadi gendutan. Pasti lucu banget," ucap Barra asal membuat Naura menapis tangannya.

Om Barra [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang