Malam pertama

19.6K 757 8
                                    

Aisyah memandang lurus ke depan, tapi kosong terlihat. Hanya nafasnya yang terdengar teratur, tapi kesadarannya masih ambang.

Aisyah termenung, diam menunggu infus di tangannya habis. Ia saat ini sendirian berada di kamar inap itu. Matanya melirik ke arah jam, dia memperhatikan setiap jarum detik bergerak.

"Ini sudah malam banget, dan mas Arezzo tidak tau aku di sini. Ya Allah maafkan aku." Aisyah terbiasa selalu meminta izin pada Arezzo, atas apapun yang ia lakukan. Walaupun pada kenyataannya, Arezzo terlihat tidak peduli.

"Assalamu'alaikum," salam seseorang diiringi oleh ketukan. Aisyah menoleh, ia bisa mendapati dokter Andi di sana.

"Infusnya sudah habis, sekarang dokter sudah bisa pulang," ungkap Andi.

"Terimakasih dokter Andi." Aisyah dengan tergesa-gesa bangkit dari brankar, padahal dirinya sedang dilanda pusing. Hampir saja dia limpung, untung dengan cepat bisa menahankan keseimbangannya.

"Hati-hati dokter," peringat Andi. Laki-laki itu hendak bergerak membantu Aisyah, tapi segera wanita itu mengisyaratkan agar tidak mendekat.

"Saya tidak apa-apa." Aisyah hendak melangkah pergi.

"Dokter Aisyah!" panggil Andi, membuat sang empu menoleh. Ia berjalan menyusul wanita itu.

"Maaf jika saya lancang, tapi tolong biarkan saya mengantarkan anda pulang," tawar Andi.

Tidak ada pilihan lain, Aisyah sadar bahwa dirinya tidak bisa mengemudi di kondisi sekarang. Akhirnya, Aisyah mengangguk.

"Baiklah, saya panggil suster untuk membantu kamu ke bawah. Saya siapkan mobil dulu."

"Tapi dok, kan malam ini anda ada sift," kata Aisyah.

Andi tersenyum kecil. "Tidak apa, nanti saya minta tolong dokter Dito buat gantiin saya. Toh, sebentar juga kan?"

Akhirnya, Aisyah tidak mengatakan apapun setelah itu. Andi pun keluar dari ruangan.

                             ****

"Hm, dokter bisa duduk di jok belakang kok," kata Andi. Ia membukakan pintu mobil belakang untuk Aisyah. Andi tau, Aisyah akan selalu menjaga jarak dengan orang yang bukan muhrimnya, ataupun suaminya.

Aisyah tidak mengatakan apapun, ia hanya menuruti apa yang dikatakan Andi.

Setelah memastikan Aisyah sudah aman di dalam, barulah Andi masuk ke kursi kemudi. Tidak banyak mengulur waktu lagi, Andi melajukan mobilnya.

Aisyah diam di belakang, dia memandang keluar kaca mobil. Airnya hanya bisa mendapati sepi, karena hari sudah larut tidak banyak yang masih beraktivitas di luar rumah.

Pada kaca mobil itu, masih terlihat bercak-bercak air hujan yang mengembun.

Tes...

Entah sudah kesekian kalinya, Aisyah mengalirkan mutiara bening dari balik kelopak matanya.

Setiap pergerakan Aisyah, tidak luput dari pandangan Andi. Ia tahu, walaupun wajah Aisyah tertutupi cadar ada wajah sedih di baliknya. Andi tidak berhak bertanya, karena itu privasi Aisyah. Andi berusaha membantu semampu dan sewajar yang dia bisa.

Tidak terasa, perjalanan penuh keheningan itu berakhir saat Andi menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang sangat megah, yang tak lain adalah rumah Arezzo dan Aisyah.

Aisyah dan Andi turun dari mobil.

"Terimakasih sudah mengantarkan saya," kata Aisyah.

Andi mengangguk dan tersenyum. "Sudah menjadi kewajiban saya, membantu sesama hamba Allah."

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang