31

12.4K 453 6
                                    

Matahari sudah mengundurkan diri sejak beberapa jam yang lalu, kini digantikan bulan yang berlindung di balik awan. Suasan kota itu masih saja terasa sangat ramai, pertanda penghuninya belum kunjung mengistirahatkan aktivitas mereka.

Aisyah'pun termasuk mereka yang beraktivitas di luar ruangan malam ini, karena ia baru saja bisa pulang dari rumah sakit setelah melakukan penanganan mendadak di IGD.

Aisyah mengucek matanya beberapa kali, bertujuan untuk menjernihkan pandangannya yang tidak terfokus.

"Ah, mungkin minusnya sudah bertambah," ucapnya pada diri sendiri.

"Mana, kacamata tinggal di rumah sakit lagi."

Aisyah mencoba fokus dengan jalan di depan sana, tangannya mengemudikan setir. Wanita itu membawa laju mobil dengan kecepatan sedang.

Suasana di dalam mobil begitu tentram, dengan alunan murottal al-quran yang memecahkan hening.

Aisyah teringat percakapannya dengan Arezzo beberapa hari yang lalu, saat mereka sedang berada di Bali.

"Aisyah, terimakasih, karena kamu memilih untuk tetap bersama saya," ucap Arezzo tulus.

Aisyah tersenyum kecut. Ia menimpalinya dengan, "Mas, kesabaran Aisyah ada batasnya. Hanya bisa berharap, semoga Aisyah bisa bertahan lebih lama lagi dalam sakit ini."

"Saya mohon, tetaplah di samping saya. Jangan pergi Aisyah," kata Arezzo.

Setelahnya, Aisyah memilih untuk tidak mengatakan apapun lagi. Dia tidak bercanda dalam ucapannya, kesabaran ada batasnya, tidak tahu kapan sabar dalam raganya habis, karena hari demi hari rasa itu terkikis.

Tinn...

Suara klakson itu mampu membuyarkan lamunan Aisyah. Ia mengerjapkan matanya, memilih meminggirkan mobilnya membiarkan mobil di belakangnya jalan terlebih dahulu.

Tidak terasa, Aisyah sudah memasuki area kawasan di mana rumah besar keluarga Wijaya berada.

"Tumben sekali, malam ini sangat sepi di kawasan ini," ucap Aisyah.

Di tempat lain, tepatnya di rumah besar keluarga Wijaya, terdengar keributan ketika seorang penyusup masuk. Namun, dengan begitu mudah tertangkap oleh para penjaga di rumah itu.

Untunglah, laki-laki berpenutup wajah itu bisa melakukan teknik kabur yang bagus dan begitu lincah, terlihat seperti telah dilatih hingga mampu mengecoh.

"Padahal aku hanya ingin memantau keadaan permaisuriku," gumam laki-laki itu. Ia membuka penutup wajahnya, hingga terlihatlah wajah tampannya.

Drrtt...

Ponsel yang berada dalam saku laki-laki itu berdering, mampu mengalihkan perhatiannya untuk meraih benda itu.

Ternyata sambungan telepon itu dari anak buahnya.

"Hallo, Tuan Zehan, anda tidak apa-apa?" tanya orang di seberang sana.

Laki-laki yang diketahui bernama Zehan itu tersenyum smirk. "Memangnya siapa yang bisa mencelakai diriku?" Nada suara Zehan terdengar begitu angkuh.

Saat ini, Zehan tengah berada di bawah pohon mangga yang tidak jauh dari rumah keluarga Wijaya. Dia tidak merasa takut, jika nanti salah-satu anak buah Arezzo menemukannya.

"Itu dia!" Seorang laki-laki tegap, berpenampilan serba hitam berlari seraya menunjuk ke arah Zehan, menginstruksikan pada teman-temannya ia telah menemukan mangsa mereka.

"Ck," desis Zehan. Terpaksalah, dia memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya, sebelum kembali berlari.

Dari arah berlawanan, Zehan tidak menyadari ada sebuah mobil yang tengah melaju, dengan kecepatan sedang.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang