57

5.7K 169 8
                                    

Asifa berdiri di depan rumah Aisyah dengan jantung berdebar. Di sebelahnya, Zehan menggenggam tangan Asifa erat-erat, mencoba memberikan keberanian yang begitu Asifa butuhkan. Udara Aceh yang panas terasa semakin menyesakkan dada Asifa, seolah-olah mengingatkannya akan beratnya langkah yang harus diambil.

Pintu rumah terbuka, dan di ambang pintu berdiri Aisyah. Wajahnya pucat dan matanya merah, tanda bahwa dia sudah lama menangis. Sejenak, ketiga orang itu hanya saling memandang, tak ada kata yang terucap. Aisyah mundur selangkah, memberi jalan bagi Asifa dan Zehan untuk masuk.

Ruang tamu rumah Aisyah di pinggiran Aceh terasa hening. Udara sepoi-sepoi angin laut masuk melalui jendela terbuka, membawa aroma garam yang khas. Aisyah duduk di sofa berwarna krem, menatap Asifa dengan tatapan tegang. Di sebelah Asifa, Zehan duduk dengan wajah tegang namun penuh penyesalan. Mereka berdua terlihat seperti pasangan yang menghadapi badai besar.

Sebenarnya Aisyah tidak perlu mempertanyakan dari mana Asifa tau di mana keberadaannya, yang sudah pasti itu dari Arezzo. Siapa lagi?

"Aisyah," ucap Asifa dengan suara lembut, mencoba menembus kebisuannya. "Kami datang untuk mengungkapkan kebenaran yang penting."

Aisyah hanya memandang tanpa sepatah kata pun, namun matanya mencerminkan campuran antara penasaran dan ketidakpercayaan.

"Asifa, kenapa kalian datang kemari?" tanya Aisyah akhirnya, suaranya parau.

Asifa mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Anak yang saya kandung, Aisha, bukanlah anak dari Arezzo."

Aisyah menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa maksudmu?"

Zehan menjawab, "Aisha adalah anak dari saya dan Asifa. Kami berpacaran sejak lama, tapi kami takut Aisyah akan terluka jika mengetahui kebenaran ini. Karena itulah Asifa memutuskan untuk pura-pura menikah dengan Arezzo."

Aisyah merasa dunianya runtuh. Segala sesuatu yang dia yakini selama ini, seolah-olah hanyalah ilusi yang runtuh dalam sekejap mata. Dia menatap Asifa dengan pandangan penuh rasa kecewa.

"Tapi, mengapa?" tanya Aisyah dengan suara gemetar. "Mengapa kalian tidak memberitahuku sejak awal?"

Asifa menangis pelan. "Kami takut kehilanganmu, Aisyah. Kami takut kebenaran ini akan memisahkan kita."

"Ayahmu," kata Zehan tiba-tiba, mengubah fokus pembicaraan. "Aku harus mengatakan sesuatu tentang ayahmu."

"Ayahku?" ulang Aisyah, matanya membelalak. Dia tidak pernah menduga percakapan ini akan berujung pada masa lalu yang kelam.

"Zehan adalah anak dari orang yang membunuh ayahmu dan Asifa," ungkap Asifa dengan suara yang terputus-putus karena tangisnya.

Aisyah terdiam. Pikirannya melayang ke masa lalu yang menyakitkan. Kehadiran Zehan di hadapannya, tidak lagi sebagai orang asing, tetapi sebagai anak dari pembunuh ayahnya, membuatnya terguncang.

"Kami tidak bisa mengubah masa lalu, Aisyah," ujar Zehan dengan nada yang tulus. "Tapi aku ingin memperbaiki kesalahanku. Aku mencintai Asifa, dan aku mencintai Aisha. Aku ingin kita bisa melewati semua ini bersama."

Aisyah duduk terdiam dalam kebimbangan yang mendalam. Akhirnya, dia mengangguk perlahan, mencoba menerima segala kebenaran yang baru saja diungkapkan.

"Mungkin butuh waktu untuk semuanya," ucap Aisyah akhirnya dengan suara yang lembut namun penuh tekad. "Tapi kami adalah keluarga. Kita akan menyelesaikan ini bersama."

Asifa menangis dengan lega, dan Zehan tersenyum dengan harapan di matanya. Mereka merangkul Aisyah, merangkul masa lalu yang penuh luka, tetapi juga merangkul masa depan yang belum pasti.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang