50

16.8K 513 204
                                    

Kelopak mata Arezzo perlahan terbuka, mendapati remang cahaya di dalam ruang kamarnya. Tangannya terulur pada tempat tidur di samping, tempat Aisyah biasanya terlelap.

Seketika, mata Arezzo terbuka lebar. Ia bergerak ke kontak lampu di sebelahnya, menghidupkan terangan pada ruang kamarnya.

Kepala Arezzo bergerak cepat ke arah samping, tidak ada objek yang dicarinya di sana.

"Aisyah," panggil Arezzo. Ia menoleh ke arah jam yang menggantung di salah-satu dinding, ini masih dini hari, kemana perginya Aisyah?

Arezzo beranjak dari tempat tidur, mencari Aisyah ke dalam kamar mandi. Namun, ruangan itu terkunci dari luar.

"Ya Allah, kemana perginya." Bergegaslah Arezzo keluar dari kamar, mungkin sang istri tengah berada di kamarnya yang dulu. Namun, Lagi-lagi hanya kekosongan yang terpampang nyata.

"Aisyah!" panggil Arezzo berteriak.

Ia memutuskan untuk mencari Aisyah ke seluruh ruangan rumah, hingga membuat kerusuhan, mengganggu orang-orang yang tengah berayun di alam mimpi, apalah daya ketika sang bos telah mentitah.

"Cepat cari istri saya ke seluruh sudut rumah ini!" titah Arezzo. Ia mengusap kasar wajahnya, takut jika apa yang tengah ia pikirkan benar-benar terjadi.

Arezzo membawa diri pada ruang utama rumah itu. "Aisyah, apakah sekarang waktunya perpisahan itu?"

"Ya Allah, ada apa Arez, kenapa berteriak seperti itu?" Dian muncul dengan penampilan khas bangun tidur. Padahal kamarnya cukup jauh, tapi suara teriakan Arezzo sangat mengganggu tidurnya.

"Apa Aisyah tidur di kamar Mama?" tanya Arezzo.

Dian memijit keningnya. "Kamu ini gimana? Aisyah kan istri kamu, masa nanya sama mama?"

"Ma, kalau saya tahu, saya tidak mungkin bertanya."

Dian masih santai menanggapinya. "Mungkin dia lagi ada di kolam, atau di mana gitu?"

Arezzo memilih untuk tidak menjawab. Dia juga berharap, semoga yang dikatakan oleh mamanya adalah benar.

"Maaf Tuan, sepertinya Nyonya sedang tidak ada di rumah. Mereka semua telah memeriksa setiap sudut, tapi nihil."

Dian terdiam sebentar, seakan baru saja menemukan kesadarannya. "Jadi menantuku hilang, atau kabur dari rumah?" tanya Dian entah pada siapa.

Dian menatap nyalang pada Arezzo, menuntut akan sebuah penjelasan. "Bilang sama Mama, apa kamu mengusir dia?" todongnya.

"Mana mungkin saya mengusir dia? Untuk apa saya mencarinya, jika seperti itu?" Arezzo jelas tidak terima atas tuduhan sang mama, tanpa tabayun terlebih dahulu.

Dian menggertak. "Kan mama sudah bilang, lepaskan dia kalo kamu nggak bisa adil. Seperti ini kan jadinya!"

Arezzo diam, menyahuti Dian sama saja menambah beban pikiran, pasti Dian akan terus menyalahkannya. Sebenarnya, tidak salah juga, semua ini adalah salah Arezzo.

"Saya laki-laki bodoh!" gerutu Arezzo di dalam hati.

"Sekarang bagaimana, mama yakin pasti Aisyah tidak ingin kembali lagi ke rumah ini!" Dian menjatuhkan diri pada sofa, tangannya masih setia memijit pelipis.

Sudah Arezzo bilang, jika mamanya itu pasti akan menambah beban pikiran. Terkesan menakut-nakuti, tapi benar adanya itu yang akan terjadi.

Arezzo hengkang meninggalkan Dian. Laki-laki itu tidak bisa tinggal diam, beroangku tangan, dia harus ikut andil dalam pencarian.

"Kerahkan semua bodyguard, telusuri setiap wilayah kota ini. Saya yakin, Aisyah belum terlalu jauh pergi!"

Sepeninggalnya Arezzo, Dian masih tetap bertahan di ruang utama. Dia memijit dahinya yang sudah ada beberapa garis halus. Bagaimana tidak pusing? Menantu kesayangannya itu telah pergi, dan sekarang yang tinggal hanya menantu yang sangat tidak dia sukai.

Tepat pada tangga menuju lantai Dian berada, ada Asifa yang berjalan dengan keheranan kehadiran sekitar yang terlihat cukup ramai.

"Ada apa ini?" tanya pelan Asifa. Kakinya yang ringkih turun menyusuri anak tangga dengan pelan.

Tadi sore, Asifa tertidur dengan sendirinya mungkin karena terlalu kelelahan batinnya. Bagaimana tidak, seharian penuh Dian selalu saja bertindak membuat tekanan yang sangat besar pada batin dan mental Asifa.

Dian mengangkat kepalanya menjadi mendongak, bisa ia dapati Asifa tengah berdiri tidak jauh darinya. Wanita paruh baya itu tersenyum sinis.

"Tuan putri sudah bangun?" sindir Dian. Nada suaranya sungguh tak bersahabat.

Asifa berjalan mendekat pada Dian. "Apa yang terjadi Ma?" tanyanya.

Dian melipat kedua tangannya di depan dada. "Ipi ying tirjidi Mi," ucap Dian menirukan gaya bicara Asifa dengan ejekan.

Asifa tersenyum kecut, ingat apapun yang dia lakukan selalu salah di mata siapapun.

"Iihhh..." Dian berdecak, menahan diri agar tidak melampiaskan amarahnya pada Asifa.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang