49

10.8K 404 4
                                    

'Huek'.

Sejak hari menjelang siang, matahari baru mulai menyebulkan diri. Sedari itu pula Aisyah merasakan hal yang menggejolak pada perutnya.

"Ya Allah kenapa ya? Perasaan kemaren aku ngga makan yang aneh-aneh, apa karena mandi malam tadi, jadinya masuk angin?" Aisyah bermonolog sendiri.

Arezzo belum mengganti bajunya, ia masih menggunakan baju koko dan sarung, tentu dilengkapi oleh peci. Aisyah dan Arezzo tadi usai melaksanakan sholat subuh berjamaah berdua, hal yang diimpikan Aisyah dari dulu.

Arezzo tergopoh-gopoh menyusul Aisyah yang berlari ke wastafel.

'Huek'.

Arezzo dapati wajah istrinya yang memucat, sangat terlihat lemah. "Kamu kenapa?"

Aisyah menggeleng. "Aku ngga tahu, atau mungkin ini masuk angin," jawab Aisyah.

Aisyah terus saja mengeluarkan isi perutnya, yang herannya hanya cairan bening. Dari semalam, Aisyah belum memasukkan apapun ke dalam perutnya.

Tangan Arezzo terulur memijit tengkuk Aisyah, wanita itu masih saja muntah, padahal terlihat jelas sudah tidak lagi yang perlu dikeluarkan.

"Mas, pergi dulu ya. Aisyah bawaannya eneg," ujar Aisyah tidak enak hati. Wanita itu tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, entah mengapa jika Arezzo dekat bersamanya membuat rasa mual semakin kentara.

"Tapi–" Arezzo seakan enggan untuk meninggalkan Aisyah senduk.

"Mas, Ais mohon."

Arezzo menghembuskan berat sebelum mengambil langkah keluar. Namun, laki-laki itu memberhentikan langkahnya di depan pintu kamar mandi, dia akan mengawasi Aisyah dari sini.

"Apa perlu kamu dibawa ke rumah sakit?" tanya Arezzo. Jika menyangkut Aisyah yang sakit, laki-laki itu selalu tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.

"Mas diem, Ais eneg dengernya. Ngga perlu bawa Ais ke rumah sakit, kok!" teriak Aisyah dari dalam kamar mandi.

Arezzo memilih mengatup rapat bibirnya. Ia tidak ingin juga, Aisyah semakin tersiksa mendengar suaranya.

Beberapa menit kemudian, Aisyah hengkang dari tempatnya semula. Ia terlihat sangat lesu dan lemah, mungkin karena kekurangan banyak cairan.

"Ini." Arezzo mengulurkan secangkir teh yang dia buat sendiri tadi, niat hati untuk Aisyah minum bersantai di balkon, tapi kiranya beralih fungsi.

Aisyah mengambil gelas itu. Ia mengambil langkah mendekat ke tempat tidur, dan menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang.

"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Arezzo. Ingatlah, sedari tadi ia khawatir tidak pernah ada rautan wajah yang berubah, hanya datar.

Aisyah menggeleng. "Sudah lebih baik." Ia mulai menyeruput teh di tangannya, cukup untuk menghangatkan perut.

Arezzo berjalan ke seberang ranjang, dan merebahkan diri menjadikan paha Aisyah sebagai bantalnya. Sang empu tidak banyak berkutik, tidak tega dengan menolak.

Aisyah menegang beberapa detik, sebelum akhirnya merilekskan diri. "Mas, ada apa?"

"Biarkan seperti ini sebentar," ucap Arezzo. Dia yang tadinya terlentang, kini beralih menghadap perut datar Aisyah.

Aisyah bisa merasakan halusnya hembusan napas Arezzo di perutnya.

Arezzo meraih tangan Aisyah menuju kepalanya, menginstruksikan agar mengusap rambutnya. Aisyah lagi-lagi tidak banyak mengatakan apapun, tapi tindakan menerima titah Arezzo.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang