45

12K 375 19
                                    

"Zehan! Apa maksud kamu ngelakuin ini!" Asifa melemparkan dengan kasar sebuah kertas putih, dengan tulisan yang sangat menyakiti mata dan hati wanita itu.

Zehan yang masih berbaring lemah di brankar rumah sakit, ia hanya bisa tersenyum smirk. Akhirnya, hal yang dia kirimkan pada Asifa sore kemaren, berhasil membawa kekasih impiannya itu datang.

"Sayang, kenapa kau marah-marah pagi-pagi begini. Padahal, kau baru saja menjengukku, setelah sekian hari aku berada di rumah sakit ini," ucap Zehan, mengembangkan senyum.

Asifa memutar bola matanya, muak dengan sandiwara laki-laki di hadapannya. "Jangan pernah menyakiti Aisyah! Atau kamu akan tahu akibatnya!" ancam wanita itu, menujuk tepat pada wajah tak berdosa Zehan.

Zehan terkekeh geli. "Hey, ada apa denganmu. Aku hanya bercanda."

"Zehan, aku udah bilang, kita udah nggak ada hubungan apapun lagi sejak malam itu! Jadi, cukup mengganggu hidup aku maupun keluarga aku!" Asifa mencak-mencak mengatakan hal itu.

Zehan tidak bisa bergerak dengan leluasa, karena alat-alat medis di tubuhnya. Namun, ia masih mampu tersenyum smirk.

"Keluarga yang mana yang kau maksud, keluarga yang sudah kau hancurkan dengan menjadi orang ke-tiga?"

Asifa menatap nyalang Zehan. "Kamu tidak berhak mengatakan hal itu, karena kamu tidak tahu apapun!"

Dari dahulu, Asifa sangat tidak suka dengan yang namanya pelakor. Dan sekarang, banyak orang mengatakannya dengan sebutan itu, percayalah itu hal yang sangat sulit ditoleransi baginya.

Seperti dahulu, Asifa pernah melihat ayahnya tengah berselingkuh di hadapan matanya sendiri. Namun, gadis itu tidak pernah menceritakan pada siapapun bahkan pada Aisyah. Beberapa minggu setelah kejadian itu, ibunya meninggal karena sebuah penyakit yang tidak bisa dijelaskan secara medis.

"Aku bukan pelakor," ucap Asifa menekankan nada suaranya.

Zehan menaikkan sebelah alisnya. "Bukan pelakor kamu bilang?" tanya laki-laki itu seakan tidak percaya.

Asifa berdiri beberapa langkah dari brankar Zehan. "Kau seperti tengah mengejekku?"

Zehan menggeleng. "Aku tidak bermaksud seperti itu, Sayang." Untaian kalimat laki-laki diakhiri oleh kekehan.

"Lalu?"

Zehan kembali mengembangkan senyumnya. "Jika bukan pelakor, pasti kamu tidak akan hamil anak dari kakak ipar sendiri bukan?"

Asifa diam sejenak, mencerna ke mana arah Zehan membawa arah pembicaraan mereka. Asifa menukikan kedua alisnya.

Zehan perlahan melunturkan senyumnya. Tatapan tajam mengarah pada perut Asifa yang mulai membuncit.

"Siapa ayah dari anak itu!?" tanya dingin Zehan penuh penekanan.

Rautan wajah Zehan yang tadinya penuh dengan kegembiraan, kini berganti dingin seakan kutub utara pindah pada diri laki-laki itu.

Rautan wajah Asifa 'pun ikut berubah pucat. Wanita itu merasakan air liurnya tersendat pada tenggorokan, dengan susah payah akhrinya tertelan jua.

"Ap–pa maksud pertanyaanmu!?" Asifa bertanya terbata-bata.

Tatapan mata Zehan tidak terlepas dari perut Asifa, membuat sang empu tidak nyaman. Asifa mencoba menutupi perutnya dengan hijab yang panjang.

"Asifa, aku yakin kamu tahu maksud diriku?"

Asifa menggeleng cepat. Yang sebenarnya, di dalam hati wanita itu sudah terkibar bandera waspada. Asifa mengelep bibirnya yang kering, dengan lidahnya.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang