17

13.5K 513 10
                                    

Arezzo meminta anak buahnya mengantarkan baju ganti untuknya, karena baju yang sedang dipakainya sekarang penuh dengan bekas muntah Aisyah.

Tidak, Arezzo tidak terlihat jijik sama sekali, ia hanya ingin bajunya lebih bersih supaya Aisyah juga nyaman berada di sekitarnya.

Saat ini Arezzo tengah berada di kamar mandi laki-laki di rumah sakit, ia lebih memilih keluar ruangan Aisyah tadi, membiarkan istrinya beristirahat.

                               ****

Mungkin bantal Aisyah saat ini sudah bisa diperas, karena sedari tadi menampung sungai yang mengalir dari mata Aisyah.

Aisyah menggigit bibir bawahnya, pengalihan rasa sakit baik fisik maupun batin. Air mata terus saja mengalir, membasahi pipinya.

"Sebenarnya aku ini apa di mata kamu, Mas! Hiks." Aisyah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergemeran, menahan suara isak agar tidak terlalu keras.

"Terkadang Aisyah diterbangkan begitu tinggi, lalu dihempas begitu saja ke dasar bumi!" Hati Aisyah seakan ditusuk dengan belati tumpul, yang membuat sakitnya bertubi-tubi.

"Agggrrtt!" Aisyah mencengkram kepalanya yang masih didera sakit yang luar biasa. Keringat dingin mulai bermunculan pada permukaan kulit Aisyah, membuat lembab tubuhnya.

Tangan Aisyah dengan bergemetaran meraba nakas yang ada di sebelah, ia berusaha mencari butir obat. Setelah beberapa menit berusaha, akhirnya ia mendapatkannya. Langsung saja, Aisyah menelan obat-obat itu.

"Hiks... pantaskah Aisyah mempertahankan hubungan kita?" tanya Aisyah enatah pada siapa. Ia kembali mencengkram kepalanya, kali ini dengan kekuatan yang lebih kuat.

"Aisyah merasa menjadi penghalang hubungan Mas sama Asifa. Hiks!" Aisyah menggelengkan kepalanya dengan cepat, berusaha mengusir rasa sakit.

"Aaggrrtt... astagfirullah, sakit banget!"

"Ya Allah, ya Allah, ya Allah." Aisyah mencoba menenangkan diri, ia memperbaiki posisi tubuh terlentang. Aisyah mulai menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskan dengan pelan-pelan.

Mungkin rasa sakit terlalu menguasai diri Aisyah, membuat fisik dan batinnya lelah. Hal itu mengantarkan Aisyah hanyut dalam tidurnya. Terlalu banyak menangis, membuat mata wanita itu terasa berat.

Beberapa puluh menit berlalu, sampai Aisyah benar-benar tengelam dalam hanyutnya mimpi, berharap agar bisa menemukan bahagia semu di sana.

Klekk...

Arezzo membuka pintu ruang inap Aisyah dengan begitu pelan, agar istrinya tidak terganggu. Tidak lupa, laki-laki itu juga mengucapkan salam.

Arezzo memandang wajah damai Aisyah, kala tengah tertidur. Terbitlah senyum di bibir laki-laki itu. Ia mendekat, mengambil alih kursi di samping ranjang Aisyah.

Tangan kekar Arezzo terulur, mengusap dengan lembut wajah Aisyah yang dingin, dari dahi, melalui mata, hidung, hingga berhenti pada bibir pucat wanita itu.

"Maaf, entah sudah berapa ribu senyum yang saya renggut dalam hidup kamu. Tolong maafkan saya." Arezzo mengusap lembut bibir pucat Aisyah.

"Saya harap, kamu bisa kuat, Aisyah. Ini semua sudah menjadi takdir, saya tidak bisa berbuat apa-apa," ungkap Arezzo.

Arezzo beralih pada tangan Aisyah yang tidak digandeng infus, ia menggenggam erat bagian organ tubuh itu.

"Ikutilah permainan takdir ini. Rollercoaster kehidupan." Arezzo mengusap tangan dingin Aisyah.

Arezzo memandang tubuh Aisyah yang seperti mayat tanpa aliran darah, hanya gerakan dada naik turun yang membedakan, pertanda Aisyah masih bernapas.

"Sebenarnya, penyakit apa yang sedang mendera kamu?" tanya Arezzo. Entah mengapa, laki-laki itu tidak yakin dengan penjelasan dokter Andi tadi.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang