55

13K 443 160
                                    

"Pokoknya saya mau ketemu sama pemilik perusahaan kalian. Jika tidak, lihat saja, saya akan memberitahukan kabar ini ke media massa, sehingga reputasi kalian akan turun! Semoga dapat segera ditangani. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aisyah terengah-engah menguntaikan kalimat penuh penekan itu. Apalagi, saat ini Aisyah tengah diserang batuk yang membuat kerongkongannya kering. Suara Aisyah juga turut berubah.

Aisyah hanya asal mengancam, karena pada kenyataannya dia lupa untuk menanyakan nama dari perusahaan yang seenaknya saja ingin menggusur paksa pembangunan pesantren yang sedang berjalan.

"Mbak, apa yang mereka bilang?" tanya Ravin, yang kebetulan sekali berada di dekat Aisyah. Saat ini mereka tengah berada di ruang kepala madrasah.

Aisyah menoleh pada Ravin. "Aish, kenapa mereka dengan seenaknya saja melakukan itu?"

"Mungkin mereka juga tidak tahu, jika tanah itu sudah diwakafkan," ungkap Ravin.

Aisyah mengangguk. "Mungkin benar juga, tapi tetep aja kan mereka tidak boleh main gusur gitu aja?"

"Yaudah Mbak, nanti kita bicarakan baik-baik dengan pemilik perusahaannya. Mbak tenang dulu," ucap Ravin.

Aisyah menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Tangannya bergerak memijat dahi pelan, ini cukup membuat kepalanya pusing.

"Apa kamu tahu nama perusahaannya?" tanya Aisyah tiba-tiba.

Ravin mengerutkan keningnya. "Finoshine? Eh apa ya? Aku lupa, Mbak."

"Lah." Nada suara Aisyah terdengar kecewa.

"Gimana nanti kalo masalah ini semakin menjadi, kita butuh tahu identitas mereka. Setidaknya, jika perusahaan mereka besar, maka kita akan mudah menyebarkan ini ke media massa."

Aisyah berdiri dari duduknya, beranjak pada jendela yang mengarah pada lapangan pondok pesantren.

"Baiklah nanti aku akan cari tahu, Mbak tenang aja," kata Ravin.

Aisyah mengangguk.

"Kamu mau ikut? Habis ini mbak mau meninjau perkembangan pembangunan." Aisyah berkata seraya melirik jam yang menggantung pada dinding.

"Jam berapa Mbak? Jika dalam waktu dekat ini, saya masih ada ngajar di dua kali kelas lagi."

Aisyah menoleh pada jam yang menggantung pada dinding. "Mungkin nanti ba'da dzuhur. Soalnya mau nunggu Athaya pulang sekolah juga, karena saya yang jemput."

"Baiklah, sepertinya saya bisa."

                              ***

Terik matahari yang menjilat, tak menyurutkan niat Arezzo untuk turun tangan langsung meninjau pembangunan yang melanggar hak itu. Benar saja, saat ini laki-laki itu telah menginjakkan kaki di tanah Aceh.

Para bodyguard Arezzo telah pasang badan di sekeliling mobil Arezzo. Salah satu dati mereka membukakan pintu mobil, untuk Arezzo.

Tapak kaki Arezzo menginjak tanah berdebu, keluar dari mobil. Ia menggunakan kaca mata hitam, untuk menghalau silau.

"Apakah di sini tempatnya?" tanya Arezzo.

"Iya Tuan."

Arezzo menyapu pandang ke arah sekitar, bisa ia dapati para pekerja yang tengah sibuk dalam pembangunan yang belum jadi di hadapannya.

Pembangunan pondok pesantren itu di atas lahan berhektar, mungkin akan menjadi pondok pesantren terbesar di Indonesia.

"Apakah pemilik pondok pesantren ini adalah seorang perempuan?" tanya Arezzo lagi.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang