Menangis itu wajar, tapi menyesal atas keputusan itu jangan. Ya, Aisyah tidak mengerti, mengapa cairan bening terus saja meleleh dari matanya. Dia ingin kuat, mengatakan dia bisa. Namun, kenyataan itu tidaklah mudah.
Tidak, Aisyah tidak menyesali keputusannya untuk pergi. Namun, masih terngiang setiap perkataan Arezzo beberapa waktu lalu, itu sangat menyakitkan baginya.
Saat ini, Aisyah lebih memilih untuk singgah di sebuah masjid yang letaknya sudah jauh dari rumah Arezzo.
Aisyah baru saja menjumpai Allah yang maha memberi petunjuk, ia menceritakan semuanya, mencurahkan segala kesah yang membuat sesak pada dada.
Aisyah tidak membawa apapun dari rumah Arezzo, bahkan mobilnya sekalipun. Wanita itu saat ini seperti tidak punya apapun.
Untunglah Aisyah membawa ponselnya, dengan begitu jika nanti ada pasien yang ingin konsul, ia bisa dengan segera menangani.
Air mata'pun tak lagi membanjiri pipi akibat cairan yang turun dari mata wanita itu, hanya saja rasa sakit masih sangat kentara terasa.
Aisyah membuka ponselnya. "Ini sudah jam sembilan malam. Ya Allah aku harus ke mana." Wanita itu memijit keningnya karena terlalu pusing.
Wanita bercadar itu meronggoh sakunya, mencari apa yang bisa menguntungkan bagi dirinya. Aisyah melihat isi sakunya, hanya ada sehelai uang 100 ribu rupiah di dalamnya.
"Bismillah, ini cukup untuk malam ini."
Setelah dirasa cukup tenang, Aisyah memulai perjalanannya malam ini. Dia tidak mungkin tidur di masjid, nantinya itu akan merepotkan orang lain.
Sampai di depan halaman masjid, Aisyah memberhentikan langkahnya.
"Mungkin aku akan pergi ke rumah lama dulu untuk malam ini."
Setelah lama berfikir, akhirnya keputusan dibuat juga oleh Aisyah.
Untunglah, di hadapan Aisyah langsung di sambut oleh jalan raya, jadi dia tidak perlu berjalan lagi lebih jauh untuk mendapatkan tumpangan kendaraan.
"Apa Mas Arez nggak mencari aku ya?" tanya Aisyah pada dirinya sendiri.
Wanita itu tersenyum kecut. "Mana mungkin, Mas Arez bahagia dengan kepergianku."
Aisyah menengokkan kepalanya, ke kanan dan ke kiri. Wanita itu tersenyum, karena dari kejauhan terlihat sebuah mobil yang tengah melaju ke arahnya, itu adalah taksi. Aisyah melambaikan tangannya.
Tidak mengulurkan waktu lagi, Aisyah masuk ke dalam mobil taksi itu saat sudah berhenti di hadapannya.
"Mau ke mana neng," tanya pak supir.
"Bawa saya ke–" Aisyah menyebutkan tujuan alamatnya.
Setelahnya, mobil itu mulai melaju.
Aisyah menoleh ke arah jendala, memandang ke luar sana. Entah mengapa, setelah berusaha payah, teriakan, bentakan dari Arezzo masih saja terngiang pada telinga dan kepala Aisyah.
"Pergi! Pergi kamu dari hadapan saya!"
Tanpa Aisyah sadari, mutiara bening kembali meluruh pada pipi lembut nan mulusnya.
"Hiks..." Aisyah mengusap kasar air mata yang turun tanpa henti.
"Hiks... jangan nangis Aisyah, jangan." Aisyah menggelengkan kepalanya, menguatkan diri sendiri. Namun, usaha rupanya tidak membuahkan hasil, Aisyah kian terisak.
Semua peristiwa beberapa bulan terakhir kembali terputar pada memori Aisyah, bak video rusak nan menyakitkan.
Aisyah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berharap bisa meredam suara isakannya. "Hiks... Asifa, Mas Arez, kenapa kalian tega ngelakuin ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (Lengkap)
RandomCERITA INI BISA MEMBUAT EMOSI ANDA JUNGKIR BALIK SALTO MENGGELINDING ⚠️ Aisyah harus menghadapi kenyataan pahit ketika suaminya, Arezzo, menghamili adiknya, Asyifa. Hatinya hancur, merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Meski terluka, Aisyah...