Ketulusan

52.9K 1.1K 20
                                    

Dengan nada yang perih, meminta ampun itu, Aisyah mengatakan. "Menikahlah dengan Mas Arez. Kamu berhak bahagia, Adikku." Aisyah mengelus perut adiknya yang masih datar. "Mbak rela dengan segenap jiwa, membagi suami dengan kamu." Dipaksakan Aisyah tersenyum lebar, menutupi kemurungannya. Serta atas segala tetesan air yang bergenang pada mata wanita itu.

Dian sontak berdiri, menegaskan bahwa ia tidak terima dengan keputusan menantunya. "Tidak Aisyah, dia tidak berhak menjadi menantu keluarga ini!" Dian menarik Aisyah yang masih bersimpuh lemah di hadapan adiknya, Asifa.

Ditatapnya dengan lekat manik mata Dian, Aisyah bisa melihat gurat kesedihan yang mendalam. Dian memandang Aisyah dengan keprihatinan.

Aisyah menggeleng. "Tidak Mama, Asifa berhak. Adikku sekarang tengah mengandung keturunan dari keluarga ini, anaknya Mas Arez." Aisyah mengangkat tangannya ke udara menunjuk suaminya yang masih terdiam, dengan gurat wajah yang tak terbaca.

Dian menahan akan sirat kemarahan yang menjangkau ubun-ubun. Dia melangkah menuju tempat putranya berada, tepat di sebelah Asifa.

Plakk...

Suara tamparan menggema dalam ruangan. Tunak mata hitam legam milik seorang Arezzo terarah pada Dian, sang mama. Tak disangka olehnya, wanita itu akan melakukan hal seperti beberapa angin yang berlalu.

"Tak Mama sangka kamu melakukan ini, Arez!" Dian menunjuk tepat pada wajah Arez. "Tak pernahkah kamu berfikir, apa yang kamu lakukan ini sungguh sangat tidak terpuji! Bahkan, anjing pun tidak akan mampu menelan semua perilaku kamu!"

Dian memijit dahinya yang sudah memiliki beberapa lipatan. "Arez, kamu ini paham agama! Mama memberikan kamu kepercayaan untuk menambah ilmu di Kairo sana, dan kamu meninggalkan istri kamu di sini. Semua itu dapat Mama mengerti. Tapi, apa sekarang? Punya hubungan terlarang dengan adik ipar kamu sendiri, sampai menanamkan benih!?" Dian begitu geram hendak kembali melayangkan tamparan pada putranya, tapi untungnya segera ditahan oleh Aisyah.

Arez menengadah melihat istrinya. Pria itu menatap jengah, lalu mengedarkan pandangannya kemana saja sebelum akhirnya terlempar ke arah Dian. "Tampar saja saya, Ma. Namun, hal itu tidak akan mengubah kenyataan, bahwa saat ini Asifa tengah mengandung anak saya," pungkas Arez.

Aisyah menutup mata, mendengar setiap tuturan yang keluar dari bibir suaminya. Ya, itu kenyataannya, susah payah Aisyah menyangkal fakta yang terungkap. Tanpa terasa tetesan halusnya air mata membasahi pipi wanita itu.

Dian menurunkan tangannya, lalu membawa Aisyah ke dalam dekapan hangat. Dian mengusap beberapa kali punggung menantunya. "Maafin anak mama," lirih Dian.

Aisyah menggeleng. Ia berusaha melerai pelukan, hingga terlepas. "Ini semua bukan salah Mama, tapi ini semua sudah takdir."

Dian menangkup kedua belah pipi Aisyah. "Nak, dengerin Mama, dimadu tidak segampang itu. Arez bukan nabi ataupun para sahabatnya, dia tidak bisa membuat perilaku adil diantara kalian." Dian mencoba memberikan penjelasan, dengan nada yang begitu penuh dengan kekhawatiran.

Aisyah tersenyum kecut. "Apa bedanya dimadu dan tidak, aku tidak pernah merasa diperlakukan sebagai istri yang sebenarnya," batin Aisyah. Tertahan oleh kelembutan hati, untuk tidak mengatakan masalah rumah tangannya pada mama mertua.

Aisyah menggeleng. "Ma, mau ataupun tidak, aku tetap harus berbagi suami bukan?" Lagi dan lagi wanita itu menampakkan senyumnya, seolah semua baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu bahwa hatinya hancur lebur tidak menyisakan kepingan.

Dari mata Dian sangat jelas terlihat, bahwa dia tidak setuju dengan semua perkataan menantunya. Dian adalah salah-satu wanita yang memiliki prisip, lebih baik berpisah daripada harus dimadu. Namun, Dian tidak ingin menyuarakan itu. Jika Aisyah berpisah dengan Arez, maka Dian akan kehilangan menantu yang paling dia sayangi. Bukannya ingin egois, tapi sungguh Dian tidak mau itu terjadi.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang