54

15.6K 487 225
                                    

"Umi, kenapa umi nggak makan ayam?" tanya Athaya kecil. Ingatlah, jika anak itu tidak akan puas akan pengetahuan. Selalu bertanya, sampai dia menemukan jawaban yang dia inginkan.

Aisyah menoleh pada Athaya, ia tersenyum begitu hangat untuk menutupi hatinya yang tersengat listrik bertenaga rendah.

"Karena ayamnya cuma mau dimakan sama Atha, jadi umi nggak boleh makan."

Aisyah murung dalam hati, dia tidak memiliki cukup uang untuk membelikan lauk untuk menjadi makanan mereka.

Sebenarnya Aisyah memiliki sejumlah uang, tapi itu akan ia gunakan untuk pembangunan pesantren cabang yang sudah mulai berjalan pembangunannya. Tentu membutuhkan dana yang cukup besar.

Lagipula, gajinya sebagai seorang dokter tidak cukup besar karena berada di plosok desa. Aisyah pun hanya bekerja sebagai dokter di pondok pesantren yang dia bina sendiri.

"Tahu juga enak," ucap Athaya. Ia meraih tahu dan tempe yang berada di dalam piring Aisyah, dan memindahkan ke dalam piring miliknya.

"Karena Atha sudah ngambil tempe Umi, jadi Umi juga halus nyoba ayamnya." Athaya menggantikan tempe milik Aisyah dengan ayamnya.

Aisyah tersenyum kecut, walaupun dia mencoba untuk terlihat baik-baik saja di hadapan sang putra. Aisyah sendiri juga tidak tahu, mengapa Athaya bisa memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi, padahal usianya baru lima tahun.

"Makasih, Sayang. Tapi ayamnya jangan dikasih umi, kan ini makanan kesukaan Atha." Aisyah mengulurkan tangan, mengusap lembut rambut tepal, hitam legam milik Athaya.

Athaya menggeleng. "Atha dah kenyang. Mau pelgi cekolah dulu. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Bocah itu menyalami tangan Aisyah.

Aisyah hanya manut saja, tidak menyadari akan ada sebuah keanehan. Hingga beberapa saat, dia mengerjap bingung pada Athaya. Cara anaknya itu pamit, seperti anak SD yang akan sekolah. Padahal, Athaya masih TK.

"Kamu mau pergi sama siapa? Kamu inih." Aisyah terkekeh.

Athaya menunjuk ke arah ambang pintu, terlihat jelas figur Ravin di sana dengan dua kresek yang membebani tangannya.

"Abi!" sapa Athaya, menghampiri Ravin.

Ravin membawa Athaya ke dalam gendongannya. "Wuih... anak Abi sepertinya sudah siap ke sekolah."

Athaya menyengir. "Iya dong. Kalena Atha mau jadi juala, bial bisa beliin Umi ayam yang banyak."

"Hebat itu," ucap Ravin mencuil hidung Athaya.

Ravin membawa Athaya menuju kembali ke meja makan. "Ngomong-ngomong, ini Abi ada bawain ayam goreng kesukaan Atha."

Athaya menoleh pada Aisyah, dan ayam yang di piringnya tidak terjamah sama sekali.

"Horee!" seru Athaya.

                              ***

Di ibukota Indonesia, tepatnya di tempat berdiri gagah kantor milik keluarga Wijaya. Financial group. Ada Arezzo tengah berteduh di bawahnya, termenung menghadap dinding kaca pembatas ruangannya dan gedung-gedung kota menjulang di luar sana.

"Aisyah, kapan kamu kembali?" tanya Arezzo entah pada siapa.

Percayalah, begitu banyak hal yang berubah dari diri Arezzo. Mungkin dimulai dari penampilannya yang tak terurus, sikap dinginnya menjadi-jadi. Bahkan, suatu ketika bisa menjadi sangat menyeramkan. Namun, hanya satu yang tidak berubah, yaitu rasa cintanya pada Aisyah, semakin berkembang setiap harinya.

Arezzo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sedalam yang ia mampu, Arezzo menghirup udara, lalu menghembuskannya secara pelan dan teratur.

"Aisyah, saya sangat merindukanmu." Arezzo mengusap sudut matanya, karena terdapat bercak air mata yang meleleh begitu saja.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang