20

15.1K 496 3
                                    

Pukul dua lewat dua puluh malam, kala bumi tengah sepi, Arezzo berlarian di sebuah gang gelap pekat tanpa terangan. Keringat seakan memandikan tubuh laki-laki itu. Bayangkanlah, ia harus berlari dari jalan tol menuju tempat tujuan dengan jarak yang tak bisa dikatakan dekat. Arezzo hanya mengandalkan cahaya minim dari rembulan.

Arezzo menekan benda yang terpasang di telinganya. "Kerahkan beberapa pasukan, kepung di sekeliling gedung itu. Saya akan sampai dalam lima menit lagi." Setelah mengucapkan itu, Arezzo menaikan kecepatan otot kakinya, agar bisa bergerak lebih lincah.

Langkah kaki Arezzo terhenti pada tanah lembab, halaman sebuah gedung tua. Sebuah bangunan tak terawat, tumbuhan liar menjalar pada dindingnya. Gedung menjadi habitat lumut.

Arezzo memandang lurus ke depan. Tatapan tajamnya seakan mampu menerawang kejadian yang sedang terjadi di dalam sana.

Tidak mengulurkan waktu lagi, laki-laki bertubuh kekar berjalan tergesa-gesa masuk. Ia menenerobos pintu kayu coklat, yang terlihat usang, tapi tidak dengan kenyataannya karena benda itu kokoh.

Duaarrr...

Arezzo berhasil mendobrak pintu, yang tidak seharusnya ia lakukan, karena pintu tidak terkunci. Namun, mungkin karena dirinya terlalu tidak bisa berfikir jernih.

Yang pertama kali tertangkap pada kornea mata Arezzo, adalah seorang laki-laki bertubuh kekar tengah duduk di kursi seperti singgasana saja, yang berada tengah-tengah ruangan. Laki-laki berjas rapi itu tersenyum hangat, saat dia menyadari kehadiran seseorang yang dia tunggu.

"Wellcome, Arezzo Leon Wijaya." Laki-laki yang tadinya duduk, kini berdiri menyambut kedatangan sangat tamu.

Tunak mata Arezzo terlalu sibuk memperhatikan sekitar, mencari seseorang. Dia tidak terlalu menghiraukan laki-laki di hadapannya. Menganalisis setiap sudut ruangan gedung itu. Berbeda dengan penampilan dari luar, dari dalam terlihat begitu megah dan mewah dengan setiap perabotan yang modern.

Sampai akhirnya, Arezzo bisa bernapas lega saat mendapati Asifa duduk tidak jauh darinnya. Arezzo membawa langkah panjangnya menuju wanita itu.

"Kamu tidak apa?" tanya Arezzo pada Asifa. Laki-laki itu menganalisis dengan teliti, setiap inci tubuh Asifa, memastikan tidak ada yang terluka.

Asifa menggeleng. "Aku ngga pa–pa kok."

"Woah... anda bahkan tidak menghiraukan saya, pak Arezzo terhormat."

Arezzo mencari sumber suara, yang ternyata dari laki-laki berjas rapi. Arezzo menaikan sebelah alisnya.

"Zehan Kalio Devawa!" desis Arezzo.

Laki-laki yang diketahui bernama Zehan itu semakin mengembangkan senyumnya, semakin menambah kesana ketampanan. "Ternyata Anda masih mengenal nama saya dengan baik."

"Apa yang kamu mau?" tanya Arezzo.

Senyum pada Zehan kini terganti dengan smirk, beberapa detik kemudian digantikan pula tawa. "Ayolah, Arezzo, kita ini adalah sahabat, kenapa kau menjadi kaku seperti ini?"

Arezzo menoleh ke arah Asifa di sebelahnya. "Mari kita pulang," ajak Arezzo. Asifa mengangguk, ia berdiri dari duduknya.

"Ck... tolonglah, ada apa dengan kalian ini. Baru juga kita bersua, sudah mau berpisah lagi," keluh Zehan menampangkan wajah pura-pura ketawa.

Arezzo tidak mengindahkan Zehan, ia menarik lengan Asifa untuk mengikuti langkah kakinya.

Zehan tidak ambil pusing, dia kembali duduk di kursi sebelumnya. Ia menyilangkan kaki, berlagak sangat santai. Dia seakan tengah menanti sesuatu yang sangat luar biasa terjadi.

Tepat seperti perhitungan Zehan, langkah Arezzo akan terhenti pada langkah kedelapan.

Arezzo mematung di tempat ia berpijak. Tentunya, dikarenakan laki-laki di hadapannya itu menghentikan langkah, Asifa'pun terhenti.

"Ada apa, Bang?" tanya Asifa.

Arezzo menoleh ke samping di mana Asifa berada, raut wajahnya masih datar. "Kita dijebak," ungkap santai Arezzo.

Jika Arezzo tetap santai, atau lebih tepatnya mencoba santai. Tentu beda halnya dengan Asifa, mata wanita itu hampir keluar dari lingkarnya.

"Terus gimana ini, Bang?" Asifa bertanya panik.

Tanpa disadari oleh Asifa, Arezzo menghembuskan napas berat. Laki-laki itu menoleh kembali ke belakang.

"Apa mau kamu?" tanya Arezzo.

Zehan menampilkan smirk. "Kemarilah kawan. Jangan buru-buru, kita habiskan waktu untuk bermain."

Arezzo melirik ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya, ia harus cepat, karena Aisyah saat ini membutuhkan dirinya. Bahkan Arezzo belum mendapatkan kabar dari anak buahnya yang bertugas di sana, hal itu membuat pria dewasa itu semakin khawatir.

"Jangan buang waktu saya! Buka pintunya, atau saya akan–"

"Akan memerintah anak buah anda, untuk membukanya?" Zehan menyambung kalimat Arezzo.

Zehan terkekeh, terdengar mengejek. "Saya sudah bisa membaca jalan pikiran anda, terlihat pintar tapi semua dikerjakan oleh bawahan."

Jika niat Zehan ingin memancing emosi Arezzo, maka ia kalah, karena pada dasarnya Arezzo hanya menganggap hal itu sebagai sebuah candaan semata yang sayangnya tidak lucu sama sekali.

"Jangan terlalu banyak basa-basi, cepat buka pintunya! Saya tidak main-main dengan ucapan saya!" tegas Arezzo.

Zehan mengangkat kedua tangannya. "Okelah, iya, saya mengalah. Hahaha." Laki-laki itu terlihat seperti orang kekurangan kewarasan. Namun, tentu hal itu hanya dibuat-buat.

"Ayolah, Arezzo, Asifa, kita kan sahabat, mari bermain bersama lagi," tawar Zehan kini dengan rautan wajah serius.

"Kami tidak punya waktu," ketus Arezzo.

"Ck. Mentang-mentang kalian sudah menikah sekarang, jadi melupakan diriku."

Zehan berjalan beberapa langkah untuk mendekat pada Asifa. "Bagaimana Sayang, kamu mau kan bermain lagi bersama diriku?" 

Zehan mengangkat tangannya ke udara, berniat mengamit tangan Asifa. Namun, rencananya tidak berjalan lancar, karena sudah terlebih dahulu Arezzo mencengkal lengannya.

"Jangan sentuh istriku!" tegas Arezzo. Ia menghempas kasar tangan Zehan.

Bukannya sakit hati, Zehan justru semakin mengembangkan senyumnya. "Arezzo, anda serakah sekali. Tadinya aku tadinya tidak percaya jika kalian memang benar-benar sudah menikah, tapi setalah melihat dengan mata kepala sendiri." Zehan menggantung ucapannya. "Ya, saya semakin yakin jika Arezzo, anda bukan suami yang baik."

Asifa sedari tadi hanya berdiam diri, ingin bersuara tapi sudah terlebih dahulu ditahan oleh rasa takut.

Arezzo menatap jengah pada Zehan. "Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya pergi." Kali ini, Arezzo benar-benar menarik tangan Asifa sampai di depan pintu kayu coklat. Arezzo menghantamnya dengan kasar, hingga benda padat itu rusak.

Asifa hanya mengikuti langkah Arezzo. Ia mendongak melihat punggung kekar di hadapannya. Asifa menoleh ke belakang saat dirinya sudah beberapa langkah jauh dari pintu, wanita itu bisa mendapati Zehan yang tengah menatapnya dengan tatapan tidak dapat diartikan.

Tanpa disengaja, tunak mata Asifa dan Zehan beradu menciptakan pandang penuh makna. Adegan itu, membuat efek dramatis di antara keduanya.

"Arezzo, lo udah ngambil apa yang seharusnya menjadi milik gue!" gumam Zehan.

"Asifa milik gue, selamanya milik gue! Kenapa Arezzo dengan beraninya merenggut permata gue!"

"Gue akan pastikan, Asifa kembali ke tangan gue!"

Zehan, Arezzo, dan Asifa adalah sahabat seperjuangan dari Indonesia yang menimbah ilmu di Kairo mesir. Namun, karena suatu tragedi dan terungkapnya sesuatu yang besar, membuat persahabatan mereka bertiga hancur begitu saja.

"Salahkan aku mencintai kamu Asifa?" tanya Zehan entah pada siapa.










Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang