Sekarang sudah perhitungan dua minggu, Aisyah dirawat di rumah sakit. Bayangkanlah, bagaimana rasa bosan menggonggongi wanita itu.
Sebenarnya kondisi Aisyah sudah sangat membaik, tapi apalah daya jika memiliki suami perfeksionis, wanita itu harus sembuh total baru diizinkan untuk pulang.
Terkadang Aisyah berfikir, apakah boleh ia berharap dengan suaminya itu karena sikap dan perlakuan sungguh berbeda setelah menikah dengan Asifa. Ya, laki-laki itu menjadi lebih mau berinteraksi langsung dengan Aisyah. Jika dulu, Arezzo bahkan enggan untuk menyahut jika Aisyah berbincang dengannya.
Arezzo mengosongkan waktunya, hanya untuk menjemput sang istri di rumah sakit. Tentu ia tidak sendiri, karena Asifa memaksakan untuk ikut.
Selama Aisyah dirawat di rumah sakit, Arezzo tidak pernah absen untuk menemani istrinya itu. Arezzo selalu beralasan, jika dia gabut di rumah, jadinya ia memilih datang ke rumah sakit. Namun, pada dasarnya, Arezzo tidak pernah tidak diterpa urusan pekerjaan.
Pernah Aisyah mengatakan, "Tapikan di rumah ada Asifa."
"Tapikan, kamu bisa diam saja, membiarkan saya di sini," balas Arezzo.
Aisyah saat ini sudah berada di dalam mobil Arezzo. Seperti biasa, entah mengapa Asifa terlalu memilih untuk duduk di jok belakang, dan membiarkan Aisyah duduk di samping kemudi. Asifa selalu memberikan alasan, jika ia ingin tidur dengan selesa.
"Mas, kenapa nggak nyuruh supir aja jemput aku. Kan kasihan sama Asifa," ucap Aisyah menoleh pada adiknya di jok belakang. "Takutnya dia kecapean."
Arezzo tak memilih menanggapi pertanyaan Aisyah, ia mulai melajukan mobilnya. Setelah beberapa saat barulah ia menjawab.
"Kebetulan saya lagi punya waktu yang renggang," bohong Arezzo, karena kenyataannya dia memiliki begitu banyak pekerjaan yang menumpuk yang sudah ia tunda selama Aisyah di rumah sakit.
"Ouh..." Aisyah mengangguk-angguk memilih untuk percaya saja.
Arezzo terpaksa mengatakan hal itu, karena tidak mungkin ia mengatakan hal sebenarnya. Arezzo sengaja menjemput Aisyah karena takut jika Andi sudah terlebih dahulu menawarkan diri. Arezzo bisa merasakan alarm bahaya jika Andi bersama dengan Aisyah.
Aisyah menoleh ke jok belakang, tempat Asifa berada. Ternyata benar adanya, jika Asifa seperti sangat mengantuk.
"Kasihannya adikku," gumam Aisyah.
***
Aisyah pikir setelah dia diizinkan pulang dari rumah sakit, ia akan bebas dari rasa kebosanan. Nyatanya itu semua tidaklah benar, karena Arezzo tidak mengizinkan Aisyah untuk keluar rumah untuk berberapa hari. Aisyah juga tidak habis pikir dengan yang Arezzo katakan, ia baru bisa kembali kerja setelah benar-benar pulih. Aisyah hanya bisa menepuk jidat, entah sehat dan sembuh seperti apa yang dimaksud oleh suaminya itu.
Untuk melawan rasa bosan, Aisyah mencari kegiatan yang bermanfaat, menghibur, dan juga bisa dia lakukan di rumah. Seperti saat ini, dia sedang berada di dapur belajar memasak.
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Dibalik kelebihan yang dimiliki Aisyah, ia juga memiliki kekurangan, tidak bisa mengurus rumah, seperti tidak bisa masak, nyuci piring, nyuci baju, dan kawan-kawannya.
"Aaa!" Aisyah berlarian keluar dapur setelah mencemplungkan ikan ke dalam penggorengan.
"Ya Allah, astagfirullah, subhanallah, mashaAllah," ucap Aisyah mengelus dadanya.
Bukan tanpa alasan mengapa Aisyah tidak bisa melakukan semua itu. Arezzo sudah memperkerjakan lebih dari 80 orang untuk bekerja di rumah, sehingga Aisyah tidak pernah ambil bagian membereskan rumah.
Dulu'pun saat belum menikah, Aisyah lebih memilih fokus belajar hingga mendapatkan prestasi di segala bidang akademik. Asifa lah yang mengambil alih semua pekerjaan rumah.
Selain karena itu semua, Aisyah tidak pernah mempelajari semua itu karena, sebelumnya dia dan Arezzo LDR. Jadi, Aisyah pikir untuk apa semua itu, jika suaminya juga tidak di dekatnya untuk melakukan semua kebutuhan Arezzo.
Seorang maid juga ikut berlarian, menyusul Aisyah. "Nyonya, ada apa?" tanya khawatir wanita itu.
Sebelum berucap, Aisyah mengatur napas terlebih dahulu. "Saya takut terciprat minyak panasnya," ujar polos Aisyah.
Maid lawan bicara Aisyah, hanya bisa geleng-geleng. "Astaga, Nyonya. Yasudah, Nyonya duduk saja di pantry, biar saya yang masak."
Aisyah mengacungkan jari telunjuknya, lalu menggerakkan untuk mengatakan tidak. "Saya mau belajar masak."
Melawan rasa takut, Aisyah kembali ke dapur. Di dalam sana, ada beberapa maid lainnya berseragam sama yaitu batik maroon. Mereka juga tengah membantu Aisyah masak.
"Nyonya, biar saya yang menggoreng ikan," tawar salah-satu diantara mereka.
Ingin rasanya Aisyah menolak, tapi saat melihat bagaimana riak minyak di dalam penggorengan, ia menciut. Menekankan ego, Aisyah mengangguk.
"Lalu saya melakukan apa?" tanya Aisyah.
"Bagaimana jika Nyonya mengiris bawang saja?"
Tidak banyak pikir, Aisyah mengiyakan. Ia kira itu pekerjaan yang sangat mudah. Wanita itu mulai melakukan pekerjaannya, dengan telaten.
"Tuh kan bener, ini pekerjaan yang sangat mudah." Aisyah berucap setelah berhasil pada potongan pertamanya. Aisyah semakin mengembangkan senyumnya.
Naasnya, setelah beberapa potongan senyum Aisyah luntur. Matanya mulai berair, perih terasa.
"Ya ampun, perih mata aku," keluh Aisyah. Dengan santainya, wanita itu mengucek matanya dengan tangan yang ia gunakan untuk memotong bawang. Jadilah seri bawang berpindah pada matanya, membuat semakin perih.
"Ya Allah... duh perih." Masih belum sadar, Aisyah terus mengucek matanya. Hidung Aisyah di balik cadar juga ikut memerah.
Para maid yang menyadari sang nyonya sangat ceroboh, segera diantara mereka mengambil air, lalu memberikannya pada Aisyah. Ia juga menjauhkan tangan Aisyah dan mata wanita itu.
"Ya ampun nyonya... Mira, tolong ambilkan air."
"Tangannya jangan nyentuh mata."
Aisyah melakukan intruksi yang diucapkan bibi itu. Setelah beberapa saat, Aisyah kembali tenang saat rasa perih mulai berkurang. Namun, air matanya masih saja meluncur.
Di salah satu sudut ruangan rumah Aisyah, ada Asifa yang sedang asik rebahan. Namun, aktivitasnya terganggu, saat mendengar suara keributan dari arah dapur. Karena penasaran, Asifa menghampiri ruang itu.
Yang pertama kali di tangkap oleh Asifa adalah sang kakak yang seperti sedang menangis. Hal itu membuat Asifa khawatir, dengan cepat ia mendekat pada Aisyah.
"Mbak, kenapa menangis?" tanya kwatir Asifa.
Aisyah menoleh ke sumber suara, senyum mengembang perlahan pada bibir wanita itu. Terlihat perpaduan yang sangat unik, karena di mana collaboration antara senyum dan air mata.
"Kakak menangis terharu?"
Aisyah menggeleng, lalu terkekeh. "Hehehe..." Wanita itu menunjukkan bawang di tangannya. "Mbak lagi potong bawang," ungkap Aisyah.
Refleks Asifa menepuk jidat. "Astagfirullah, aku kira Mbak kenapa-kenapa. Ada yang nyakitin."
Dalam hati para maid di belakang Aisyah, saat ini sedang berteriak mengatakan...
"Kamu yang nyakitin nyonya Aisyah!"
Melihat kedatangan Asifa, para maid di belakang Aisyah menundukkan pandangannya. Terlihat jelas, jika mereka takut dengan wanita bernama Asifa. Berbeda halnya saat mereka bersama Aisyah, seperti teman bukan atasan.
"Hehehe. Mbak lagi belajar masak," ungkap Aisyah.
Asifa menyerengitkan hidungnya, ada aroma yang sangat tajam menusuk. Asifa mencari keberadaan aroma itu ke sekeliling sudut dapur, hingga tunak matanya terhenti pada penggorengan.
"Kak, ikannya gosong," kata pelan Asifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (Lengkap)
RandomCERITA INI BISA MEMBUAT EMOSI ANDA JUNGKIR BALIK SALTO MENGGELINDING ⚠️ Aisyah harus menghadapi kenyataan pahit ketika suaminya, Arezzo, menghamili adiknya, Asyifa. Hatinya hancur, merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Meski terluka, Aisyah...