6 tahun kemudian.
"Abi!" panggil seorang anak kecil laki-laki, dengan berteriak.
Seorang pria dewasa yang dipanggil abi itu, ia menoleh tersenyum mendapati seorang objek yang sangat menggemaskan berlari ke arahnya.
"Hei, anak abi dah dateng?" Pria itu langsung saja mengangkat tubuh mungil seorang anak yang tadi berhamburan hendak memeluknya.
"Abi, tadi Atha habis main ama meong, telus Atha diigit. Huaaa atit," ucap laki-laki kecil bernama Athaya itu.
Athaya mengadu, seraya memperlihatkan lengannya yang digigit kucing liar tadi saat sedang bermain di taman belakang, tidak lebih tepatnya dia melewati perbatasan hingga berada di semak-semak.
Ravin terkekeh geli. "Sini abi liat." Ravin memperhatikan bagian kulit Atha yang tergores.
Athaya adalah seorang anak kecil yang baru berusia lima tahun, tapi aktifnya membuat orang di sekelilingnya minta ampun dengan tingkahnya.
"Ulululu, kenapa bisa digigit sih, anak abi ini?" tanya Ravin.
Athaya sangat bersemangat menceritakan setiap detail kejadian, sehingga ia meminta untuk turun dari gendongan Ravin, mengajak duduk di salah satu sofa depan ndelem.
"Jadi, tadi Atha main di belakang lumah ndelem, telus ada meong jahat kalena sudah makan ikan yang digoyeng Umi buat Atha. Eh, meongnya malah lali ke pelbatasan–" Cerita bocah kecil itu mengalir begitu saja, Ravin menjadi pendengar yang baik dan setia memberikan respon sesuai dengan keinginan Athaya.
Mungkin karena terlalu asik dengan cerita itu, hingga mereka tidak menyadari akan kehadiran seorang wanita berpenampilan serba hitam dan bercadar, wanita itu berdiri di ambang pintu.
"Woah... keknya seru banget nih," timpal Aisyah tiba-tiba. Ia berjalan mendekat pada orang yang ia ajak berbicara.
Athaya yang menyadari akan kehadiran sang umi, ia berlari ke arah Aisyah melompat meminta untuk digendong. Aisyah mengerti dengan tingkah anaknya, segera ia bawa tubuh gempal sang putra ke dalam gendongan.
"Lagi cerita apa tadi?" tanya Aisyah, ia mengusap pelan kepala Athaya, dengan penuh akan kasih sayang. Aisyah mendudukkan diri pada sofa yang berada di teras.
"Aya tadi digigit kucing, katanya," timpal Ravin tanpa diminta.
Aisyah menoleh pada sumber suara. Ia Berdecak. "Bukan Aya, Vin, tapi Athaya," protes Aisyah.
Ravin kerap kali mengubah nama panggilan untuk Athaya, dan sering kali mendapatkan teguran dari Aisyah. Susah payah, Aisyah mencari nama untuk putranya, dan Ravin dengan seenaknya saja.
Jika nama putra Aisyah digantikan dengan 'Aya', maka kesan bencongnya akan hadir. Padahal, Athaya itu sangat gagah, persis seperti ayahnya.
Ayah Athaya?
Mengingat akan hal itu, Aisyah tersenyum kecut di balik cadarnya. "Ya Allah, kenapa aku masih saja mengingat hal yang telah berlalu?" batinnya.
Aisyah mengamati lamat setiap inci wajah Athaya yang berada di dalam pelukannya, setiap incinya sama persis seperti sang ayahnya. Bibir yang tipis, kulit putih, mata yang bening setajam silet, hidung mancung. Ah, hampir semua duplikat dari laki-laki itu.
"Atha, kenapa kamu malah mirip ayah kamu sih? Kan Umi yang ngandung kamu," kata Aisyah dalam hatinya.
Athaya berhamburan memeluk Aisyah, mengalungkan tangannya pada leher wanita itu sangat erat. "Umi, huaaa... atit!"
Athaya ini adalah anak yang penuh dengan drama ketika bersama dengan Aisyah, hanya untuk dimaja oleh uminya itu. Karena pada nyatanya, jika hanya goresan kecil seperti itu, Athaya bahkan tidak terlalu merasakannya.
Aisyah mengusap punggung Athaya, bermaksud untuk menenangkan. "Sini umi liat tangannya. Apa sakit banget?"
Aisyah mulai mengurai pelukan, melihat bagaimana luka yang dimaksud oleh putranya itu. Sebelum mulai mengecek, Aisyah terlebih dahulu mengusap bercak air mata pada pipi bakpao milik Athaya.
"Jangan, anti tambah atit. Huaaa!" Athaya menyilang kedua tangannya di depan dada, menolak untuk diperlihatkan pada Aisyah. Ia tahu, jika uminya itu adalah seorang dokter.
Aisyah menyerengit. "Sini tangannya, biar umi obati. Umi kan dokter, jadi tidak sakit kok kalo umi yang ngobatin." Aisyah mencoba memberikan pengertian, sungguh dia sangat khawatir, apalagi saat melihat air mata yang bercucuran keluar dari manik mata Athaya.
"Loh, kok malah tambah nangis?" heran Aisyah.
Tanpa Aisyah sadari, sedari tadi Ravin mengulum senyum. Ia menyadari jika saat ini Athaya hanya sedang memainkan drama. Ravin sudah mengenal watak dari seorang Athaya, putranya.
Athaya kembali berhamburan memeluk Aisyah. Tangisnya makin pecah, membuat rasa khawatir Aisyah semakin membuncah. Nyatanya, Athaya menangis bukan karena menahan rasa sakit, melainkan karena dia takut uminya marah karena ia telah berbohong.
Athaya meleraikan dekapannya, karena paksaan dari Aisyah. Anak untuk tahu, jika Aisyah sangat menghawatirkan dirinya dari tatapan mata wanita itu.
"Afwan umi, Atha tadi bolong," ucap Athaya menunduk takut. Waspada, jika beberapa detik lagi Aisyah akan murka.
"Hah? Bolong?" Bahasa Athaya memang bisa membuat lawan bicaranya geleng-geleng.
"Apa tangan kamu sampai bolong digigit kucing?" tanya Aisyah.
Athaya menggeleng cepat. "Bukan umi... kata Abi, kalau kita boong nanti idung kita akan bolong," ungkap Athaya dengan sangat polosnya.
Aisyah mengerjap, mencerna apa yang dimaksud oleh ucapan dari Athaya. Wanita itu menoleh pada Ravin yang sudah tertawa terpingkal-pingkal, seakan tidak ada dosa.
"Sayang, bukan seperti itu konsepnya," ucap Aisyah.
Athaya yang penuh rasa ingin tahu, ia menelengkan kepalanya ke kana. "Telus?"
Aisyah yang hendak angkat suara, kembali mengatup bibirnya. "Lupakan, Sayang. Jadi, kamu tadi boong sama umi?"
Athaya tidak membual lagi, ia mengangguk mengiyakan. Uminya selalu mengatakan, sepahit apapun sebuah kejujuran, lakukanlah karena itu adalah sebuah kebaikan.
Tangan Aisyah terulur untuk mencuit hidung mancung milik Athaya, ya yang tentu saja menurun dari sang Ayah.
"Kamu ini membuat umi khawatir saja."
Athaya kembali menunduk. "Maaf, umi. Athaya janji, setelah ini ndak akan mengulang lagi." Suara polos menggema di teras ndelem, karena ia berucap lantang. Ia mengangkat kepalanya, tegap, hormat pada sang umi.
Senyum di bibir Aisyah merekah. "Nice, anak umi ini. Ya sudah, umi mau lanjut masak lagi, kamu main saja sama Abi. Oke?"
"Baiklah, ummah..." Sebelum Aisyah benar-benar meninggalkan Athaya, anak itu menyempatkan diri menempelkan bibirnya pada pipi Aisyah sekilas.
"Eh, Mbak! Kan saya ada ngajar Diniyah sekarang!" teriak Ravin setelah Aisyah telah beberapa langkah berada di dalam mobil.
Tapi sepertinya, Aisyah tidak menggubris teriakannya. Ravin mengalihkan pandang dari pintu ke tempat Athaya berdiri sekarang, masih dengan posisi hormat.
"Ya Allah, polos sekali anak ini." Ravin membatin.
Athaya menyengir, hingga memperlihatkan deratan gigi mungilnya. Ravin sontak memasangkan kewaspadaan pada diri, ia bisa merasakan aura berbahaya saat ini.
"Atha boleh ikut abi?" tanya Athaya.
Tuh kan?
Ravin sudah menduga akan hal itu. Bukan tidak ingin membawa Athaya, tapi jika anak itu ikut, biasanya akan selalu menimbulkan rasa kasihan pada diri Ravin.
Athaya harus menunggu selama berjam-jam, hingga ketiduran. Ravin masih juga belum selesai mengajar. Sebenarnya lebih baik seperti itu, karena jika Athaya tetap bangunan maka akan semakin merepotkan.
Rasa keingin tahuan Athaya yang tinggi, membuat ia bertanya-tanya, melakukan aktivitas yang mengganggu santri belajar. Hiperaktif, sangat .
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (Lengkap)
RandomCERITA INI BISA MEMBUAT EMOSI ANDA JUNGKIR BALIK SALTO MENGGELINDING ⚠️ Aisyah harus menghadapi kenyataan pahit ketika suaminya, Arezzo, menghamili adiknya, Asyifa. Hatinya hancur, merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Meski terluka, Aisyah...