Sakit?

21.7K 791 24
                                    

Wajah Aisyah seakan tidak ada lagi aliran darah, yang mengalir pada organ itu. Sungguh, hal itu membuat Arezzo semakin panik. Dia memandangi istrinya yang ada dalam dekapan.

Ting...

Lift terbuka, Arezzo sudah berada fi lantai dasar rumahnya. Laki-laki itu semakin mempercepat langkah kakinya menuju halaman depan.

Tidak menunggu lama lagi, Arezzo masuk ke dalam mobil yang sudah dia perintahkan untuk disiapkan tadi. Arezzo lebih memilih untuk masuk ke jok belakang, dengan Aisyah di atas pangkuannya.

Sopir yang melihat wajah Arezzo sangat susah untuk dideskripsikan, ia menjadi panik. Sopir itu mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi.

"Astagfirullah...! Tidak bisakah lebih cepat lagi?" tanya Arezzo. Laki-laki itu masih fokus terhadap istrinya, beberapa kali ia coba mengguncang pelan tubuh Aisyah.

Sopir itu menjadi gelagapan. "B–baik, Pak."

Arezzo memperbaiki posisi tubuh Aisyah, menjadi bersandar di dadanya. Tangan laki-laki itu, mengelus lembut pipi istrinya yang terasa seperti es.

"Aiss, saya mohon bangun." Arezzo membisikkan kata itu, tepat pada telinga Aisyah.

Arezzo menggenggam tangan Aisyah, yang juga sudah terasa membeku. "Kalau kamu tidak bangun, siapa yang akan mengurus Asifa nanti?"

Aisyah masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka mata.

"Saya tidak akan memberikan kamu izin bekerja di rumah sakit lagi, kalo kamu nggak bangun." Arezzo mengutarakan kalimat itu, entah bertujuan untuk apa, karena Aisyah juga tidak akan mendengar ancaman konyol itu.

15 menit kemudian, mobil Arezzo sudah terparkir di parkiran rumah sakit yang tak lain juga tempat Aisyah mengabdi sebagai dokter.

Arezzo tidak menunggu tim medis datang, ia sudah terlebih dahulu membawa Aisyah masuk. Untungnya, Arezzo langsung bertemu dengan suster yang sedang berjaga. Tapi sebelum itu, Arezzo sudah memasangkan cadar untuk Aisyah.

Suster itu dengan segera memangggil rekannya, untuk membawakan brankar. Karena pelayanan yang cepat, mereka sudah siap membawa Aisyah ke ruang IGD.

Arezzo merasa berat, saat meletakkan Aisyah ke atas brankar.

Setelah dirasa posisi tubuh Aisyah sudah benar, segera para perawat mendorong brankar itu menuju ruang penanganan.

Arezzo mengikuti langkah para perawat itu, dengan terburu-buru. "Apa istri saya akan baik-baik saja?" tanya Arezzo pada suster yang ada di sebelahnya.

Suster itu mencoba untuk tenang. "Kita akan tahu kondisinya, saat setelah pemeriksaan."

Sekarang, mereka sudah sampai di depan pintu IGD. Arezzo hendak ikut masuk, tapi ditahan.

"Maaf, Pak, anda tidak bisa ikut masuk. Silahkan menunggu di luar," ucap seorang suster sebelum melangkah pergi.

Arezzo sebenarnya ingin menentang, tapi dia memilih untuk mengalah. Arezzo tidak mau membuat keributan, dan penanganan terhadap Aisyah bisa segera dilaksanakan.

Di dalam ruang IGD. Entah keberuntungan atau malapetaka, dokter jaga malam ini adalah dokter Andi.

Laki-laki yang bergelar dokter itu, awalnya terlihat terkejut melihat Aisyah dibawa di atas brankar.

Aisyah dipindahkan ke atas brankar lain yang ada di ruangan, untuk penanganan.

Mungkin karena panik dan sikap seorang dokter, Andi segera menghampiri Aisyah.

"Apa dia tiba-tiba pingsan?" tanya Andi. Laki-laki itu meraih stetoskop yang menggantung di lehernya.

"Tidak ada keterangan, Dok," jawab suster yang tadi melihat Arezzo membawa Aisyah.

Andi kembali fokus menangani Aisyah. Ia mengecek denyut nadi wanita itu, pada pergelangan tangan. Kulit Aisyah dan Andi tidak langsung bersentuhan, karena laki-laki itu sudah menggunakan sarung tangan medis.

Lalu, Andi juga menggunakan alat pengukur tensi. Dengan sangat telaten dokter tampan itu, memasangkan manset di lengan Aisyah. Andi memegang manometer di tangan sebelah kiri dan juga bola tensimeter di tangan kanannya.

Andi mencoba menenangkan dirinya, ia harus bersikap perfesional. Ia mulai memompa manset yang ada di lengan Aisyah, sampai pada jarum yang ada di monitor kecil bulat, menunjukkan jarum ke angka 30 mmHg.

"Tekanan darah merendah," ungkap Andi. Ia menoleh ke arah salah satu perawat yang berada tidak jauh darinya. Andi juga mengecek suhu tubuh Aisyah.

"Berikan infus," titah Andi.

Di luar ruangan, ada Arezzo yang berdiri bersandar di dinding. Arezzo melipat tangannya di depan dada. Sesekali, laki-laki itu menoleh ke arah pintu ruang IGD. Tiba-tiba, pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang suster keluar dari ruangan.

"Keluarga dokter Aisyah?" tanya suster itu.

Dengan cepat Arezzo mengangguk. "Saya suaminya."

Suster itu tersenyum. "Dokter Aisyah sudah ditangani, hanya tinggal menunggu beliau siuman," ungkapnya. "Pasien harus dirawat inap, untuk itu anda harus menyelesaikan beberapa prosedur pada administrasi."

Arezzo hanya mengangguk.

"Pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Anda sudah boleh menjenguknya."

Setelahnya suster itu pergi.

                                ****

Kelopak mata itu terlihat sedang berusaha untuk bisa terbuka, tapi karena kondisi sang pemilik tubuh sangat lemah, mata itu kembali terpejam.

Aisyah meringis sangat pelan. Andi yang ada di ruang itu, menyadari jika pasiennya sudah sadarkan diri.

Aisyah seorang yang pejuang keras, dan tidak mudah menyerah. Sekali lagi, Aisyah berusaha membuka matanya, kali ini berhasil walaupun tidak sepenuhnya.

"Dokter Andi?" Suara Aisyah sangat pelan terdengar.

Andi tersenyum. Ia berkacak pinggang. "Ckckck... seorang dokter, tapi malah nggak bisa jaga kesehatan sendiri?" Andi berucap seolah menjadi seorang mama.

"Namanya juga manusia, Dok, ya pasti ada yang namanya sakit," elak Aisyah.

Andi mengambil alih kursi yang ada di sebelah brankar Aisyah. "Sakit sih, ya wajar. Tapi...kalo sakitnya karena kecapean, ngga teratur makan, banyak beban pikiran. Itu semua, seharusnya dokter bisa mengontrolnya dong."

Aisyah tersenyum tipis di balik cadarnya. Andi memang terkenal dengan keramahannya, dan jika sudah bersama dengan Aisyah, laki-laki itu menjadi cerewet apalagi tentang kesehatan.

"Dokter tau sendiri, saya minggu ini full jaga IGD." Aisyah masih mencoba mencari pembelaan diri.

"Ulululu, terus aja cari alasan." Andi berucap diakhiri kekehan.

Tanpa mereka sadar, ada seorang laki-laki bertubuh tegap memperhatikan mereka dari ambang pintu.

Arezzo berdehem singkat. "Assalamu'alaikum."

Sontak Aisyah dan Andi menoleh ke arah sumber suara. "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka bersamaan.

Andi menoleh ke arah Aisyah. "Woah... kok bisa samaan ya kita, Jangan-jangan kita jodoh lagi. Hahaha," guraunya.




Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang